BPR Wajib Penuhi Modal Inti Rp.6 Miliar, OJK Dorong Konsolidasi di Jatim
KABARINDO, MADIUN - Jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Timur hingga awal 2025 tercatat 265 unit, berkurang dari sebelumnya 267 BPR. Ini karena dua BPR telah dicabut izin usahanya. Dari 265 BPR yang beroperasi, sebanyak 30 BPR di antaranya belum memenuhi ketentuan modal inti minimum sebesar Rp.6 miliar.
Data tersebut disampaikan Kepala Direktorat Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 1 Otoritas Jasa Keuangan Jawa Timur (OJK Jatim), Nasirwan, dalam gathering OJK Jatim bersama media di Madiun pada Jumat-Sabtu, 17-18 Oktober 2025, yang mengusung tema “Memperkuat Kemitraan dengan Insan Media untuk Mendorong Literasi dan Inklusi Keuangan di Jawa Timur”.
Nasirwan menyebutkan, dari 30 BPR tersebut, sebanyak 21 BPR sudah memiliki rencana aksi untuk memenuhi ketentuan modal inti. Beberapa di antaranya tengah melakukan penyetoran modal tambahan atau menjalankan proses merger dengan BPR lain, agar total modal intinya mencapai ketentuan Rp.6 miliar. OJK menargetkan seluruh proses tersebut dapat selesai hingga akhir Desember 2025.
Nasirwan menambahkan, OJK tengah fokus memperkuat daya saing BPR agar mampu memenuhi tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa keuangan. Upaya ini merupakan bagian dari road map pengembangan BPR yang menjadi prioritas OJK pada 2025 dan 2026.
Ia menjelaskan, salah satu fokus dalam pengembangan BPR adalah pelaksanaan program konsolidasi. Berdasarkan Peraturan OJK (POJK), setiap BPR, baik konvensional maupun syariah, wajib memiliki modal inti minimum sebesar Rp.6 miliar. Namun masih terdapat 9 BPR yang dinilai pesimis dapat memenuhi modal inti hingga batas waktu yang ditentukan.
Menurut Nasirwan, masalah utama berasal dari keterbatasan likuiditas pemilik. Sebagian pemilik tidak memiliki dana cukup untuk menambah modal. Kekurangan modal ini bervariasi, mulai dari Rp.100 juta hingga Rp.1 miliar.
Ia mengatakan, OJK telah memberikan dua opsi kebijakan bagi para pemilik BPR yang kekurangan modal. Pertama, melakukan merger dengan BPR lain yang memiliki kondisi serupa. Namun langkah ini tidak mudah, sebab penggabungan kepemilikan BPR sering terkendala perbedaan visi dan arah bisnis antar pemegang saham. Kedua, mencari investor baru yang dapat menjadi mitra strategis dan menambah kekurangan modal.
“Proses masuknya investor baru membutuhkan waktu, karena harus melalui tahapan perizinan dan evaluasi kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan,” ujar Nasirwan.
Sementara itu, OJK terus melakukan negosiasi dan identifikasi masalah terhadap 9 BPR yang belum memiliki kepastian, untuk mencari solusi terbaik agar tetap dapat memenuhi ketentuan modal inti.
Nasirwan menambahkan, bisa saja Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dilibatkan. Namun langkah ini hanya dilakukan untuk bank yang bermasalah secara kesehatan dan likuiditas. Dalam kasus 9 BPR tersebut, kondisi kesehatannya masih tergolong baik, meski modalnya belum mencukupi. Karena itu, tidak ada rencana penyerahan ke LPS. Fokusnya tetap pada penegakan kewajiban pemenuhan modal inti melalui penggabungan atau masuknya pemegang saham baru.
“Jika pemilik BPR tidak menunjukkan komitmen terhadap perintah OJK, maka akan diterapkan mekanisme PKPU ulang atau proses pembatasan kepemilikan. Pemilik tersebut bisa kehilangan hak sebagai pemegang saham pengendali, bahkan dikeluarkan dari industri perbankan, serta tidak dapat kembali menjadi pemilik BPR di kemudian hari,” ujarnya.