Oleh: M Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Ketika musim panen politik, pada siklus lima tahunan, pertarungan para politikus sangat keras. Semenjak era _electoral demoracy_ di mana suara rakyat paling menentukan, politikus habis-habisan mengeluarkan jurus agar dapat kursi. Sungguh ironis, kampanye bukan soal elaborasi program kerja tetapi lebih marak kampanye hitam yang dilarang konstitusi.
Pasal 280 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sudah jelas melarang “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain” atau “menghasut dan mengadu domba perseorangan atau pun masyarakat”.
Maka, panggung politik dipenuhi ekspresi kebencian terhadap lawan politik. Narasi rasis tak terkontrol lagi. Contoh paling kentara adalah narasi “asing dan aseng”, bahkan plus “asong”. Narasi itu menjadi satu frasa setarikan nafas: “asing, aseng, asong”. “Asing” mengacu semua kekuatan luar negeri yang eksploitatif, bisa mendikte dan mempengaruhi kebijakan Indonesia.
Aktornya bisa lembaga non-state, semisal Bank Dunia, IMF, atau operasi intelijen negara, dan sebagainya. “Aseng” mulanya merujuk dominasi konglomerat keturunan China, tapi meluas menjadi kepentinggan negara China (RRC). “Asong” adalah pribumi yang mengasongkan Indonesia ke mana-mana. Mereka bisa siapa saja dan profesi apa saja.
Sebetulnya narasi itu merupakan kritik terhadap kondisi Indonesia. Bahwa tidak ada kekuatan mana pun yang dapat menguasai Indonesia. Intinya Indonesia harus mandiri dan berdikari.
Waktu kolaps tahun 1998, Indonesia dicengkeram IMF. Ingatan masih segar sebuah foto mengenaskan saat Presiden Soeharto, penguasa Orde Baru 32 tahun, menunduk menandatangani perjanjian disaksikan Michel Camdessus, Managing Director IMF, yang berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Foto itu heboh menjadi _headline_ di media massa.
Namun, begitu masuk siklus politik lima tahunan, narasi frasa di atas tampaknya lebih mengarah propaganda politik. Masalahnya, ketika dilepas ke massa maka interpretasinya bisa liar. Di level massa akar rumput, frasa tersebut mempertebal sentimen rasial: kebencian kelompok etnis, dalam hal ini keturunan China.
Padahal sentimen rasial terhadap keturunan China merupakan warisan kolonial Belanda, yang membagi kasta sosial. Etnis China, dan juga Arab masuk warga kelas menengah. Sementara penduduk Indonesia, istilahnya bumiputra sang pemilik tanah air, justru diposisikan di kasta terendah.
Belanda semula membagi dua golongan masyarakat: orang Eropa (dan kelompok yang dipersamakan) dan bumiputra (dan kelompok yang dipersamakan). Sejak tahun 1920, diubah menjadi tiga golongan, yaitu orang Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra (Paulus, Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda, 1979).
Pembagian kasta, dengan modifikasi, berlangsung hingga era Orde Baru. Warga China mendapat perlakuan khusus: diberi konsesi di sektor ekonomi tapi digiring keluar arena politik. Jika warga Arab dapat melebur ke masyarakat, beda dengan warga China. Rasisme dan stereotipe terhadap warga China rupanya langgeng.
Mungkinkah ada kaitan dengan faktor agama? Arab dengan identik Islam. Sebaliknya identitas China lebih non-Islam dan ideologi komunis pula. Komunis meninggalkan jejak kelam dalam sejarah Indonesia. Tentu tidak melulu karena satu faktor, tetapi berkelindan beberapa faktor yang melahirkan sikap prasangka terhadap kelompok etnik tertentu.
Dalam kajian etnisitas, ini dapat dilihat dengan perspektif primordialis yaitu menyangkut warisan watak-watak etnik dan kekekalan batas-batas kelompok. Sejarah memang penuh timbunan ironi, tetapi apakah kita harus terus terbebani sejarah?
Kita sadar bahwa stereotipe dan rasisme itu sudah berlangsung lama, dan merupakan warisan penjajah. Padahal etnik, ras, warna kulit itu adalah given, bawaan sejak lahir, pemberian Sang Maha Kuasa. Bukan semata konstruksi sosial. Diskriminasi yang dilakukan penjajah malah terus terbawa hingga sekarang.
Padahal Allah menciptakan manusia dengan beragam bangsa dalam posisi setara. Tidak ada perbedaan kasta, jenis kelamin, etnik, ras, status sosial, dan sebagainya. Satu-satunya ukuran adalah ketakwaan, sikap taat pada Tuhan.
Kita simak baik-baik firman Allah, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti” (QS Al-Hujurat: 13). Tafsir Tahlili memaknai, “berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong.
Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.”
Bangsa-bangsa yang tersebar di bumi ini dipercaya setelah ada “kehidupan kedua” pasca banjir besar di zaman Nabi Nuh. Tiga anak Nabi Nuh yang selamat, yaitu Sam (Sem), Ham, Yafid, diyakini menurunkan bangsa-bangsa yang menyebar ke seluruh bumi sampai hari ini. Sam atau Sem menurunkan bangsa-bangsa di Timur Tengah atau Jazirah Arab yang menjadi rumpun Semit (dinisbahkan pada Sem), seperti Arab, Asyur, Babilonia, Israil, hingga Asia Barat.
Lalu Ham menurunkan bangsa-bangsa di Afrika, terutama Afrika bagian timur dan tengah. Sedangkan Yafid menyebarkan bangsa-bangsa ke dua arah, sebagian menuju Eropa, dan sebagian lagi menuju Asia hingga China. Orang Indonesia dipercaya masuk keturunan ini bersama China.
Bumi begitu indah dengan taburan manusia yang multikultural. Tetapi, semuanya bisa membakar bumi karena konflik. Dalam sejarah, konflik antarbangsa dipicu rebutan hegemoni dan nafsu penaklukan.
Ambisi politik bisa membelah nilai-nilai kemanusiaan kita. Tetapi, secara empirik, dalam banyak kajian riset, konflik agama sekalipun di zaman kontemporer ini, sebetulnya diinisiasi oleh motif non-agama. Paling kentara adalah motif politik, yaitu rebutan wilayah kekuasaan atau pertarungan superioritas (dominasi); dan motif ekonomi, yaitu rebutan sumber daya ( resources) (Subhan SD, Politik, Identitas, dan Konflik, 2023).
Dengan demikian kita dapat memahami konflik dengan isu primordial. Stereotipe, prasangka kelompok, rasisme terlebih lagi di musim politik bukan berada di ruang hampa. Bagaimana pun juga sulit dilepaskan dari agenda politik.
Berarti kita mesti mendudukkan masalahnya: apakah isu itu benar-benar sebagai proses untuk mencari solusi atau hanya dijadikan instrumen demi kepentingan politik semusim? Sederhana mengukurnya. Dulu mereka yang mengampanyekan “asing, aseng, asong” dan lawannya yang juga menuding balik penggunaan konsultan asing, toh sekarang bisa bersama "naik pelaminan dan tinggal serumah” juga.
Maka, sambil mengingat-ingat Surat Al-Hujurat di atas, saya menikmati secangkir kopi panas yang ditraktir orang Mesir di pasar Mercado de Magdalena, Lima, Peru, yang merasa happy bertemu “saudara” dari Indonesia. Begitu juga ketika ngobrol dengan orang bule Muslim seusai salat Jumat di Masjid Agung Moskwa, Rusia. Bukan main senangnya ketika disambut hangat oleh Muslim Uighur di Xinjiang dan Muslim Hui di Ningxia, China.
Sebaliknya asyik juga ngobrol dengan non-muslim Afro-Amerika di Atlanta, Amerika Serikat atau ngobrol dengan orang Jepang penganut Shinto seusai berdoa di Kuil Asakusa, Tokyo. Saat menanti antrean lift di sebuah hotel di Amman, Yordania, bertemu warga Amerika (keturunan China), kami tertawa-tawa hanya ngomongin soal winter coat yang kami kenakan sama. Oh, inilah bangsa-bangsa beragam ciptaan Tuhan. Mengapa saya mesti rasis dan berprasangka?