Oleh: Tomi Lebang
Di setiap zaman, ada segolongan manusia yang paling mudah ikut arus kekuasaan: para pengusaha. Banyak juga yang berpolitik, tapi dalam jubah pengusahanya, mereka tak akan berani berhadapan dengan penguasa.
Salah satu pengecualian adalah pria ini: Arifin Panigoro.
Lelaki ini adalah pemilik Meta Epsi Drilling Company atau Medco -- perusahaan tambang yang punya ladang-ladang minyak dan gas di berbagai daerah di Indonesia, Mexico, Tanzania, Libya, Yaman, Oman, sampai Thailand.
Pria kelahiran Gorontalo ini salah satu orang terkaya Indonesia. Rumahnya di kawasan Jenggala, di ujung jalan Sudirman, Jakarta menempati areal lebih dari satu hektare -- konon bekas satu kompleks perumahan milik perusahaan minyak asing yang dibelinya.
Berbeda dengan pengusaha umumnya, Arifin seorang pemberani di hadapan kekuasaan.
Saya ingat, pada senja kekuasaan Orde Baru, ia menjadi tersangka dengan tuduhan yang sungguh-sungguh menakutkan: pelaku makar. Gara-garanya, ia menghadiri sebuah pertemuan di Yogyakarta pada 5 Februari 1998.
Pertemuan itu membahas topik yang paling tabu di Indonesia selama puluhan tahun: soal suksesi kepemimpinan nasional. Topik penggantian Presiden Soeharto.
Bayangkanlah pertemuan di Hotel Radisson itu. Yang hadir, selain Arifin Panigoro, adalah Amien Rais, Afan Gaffar, Anggito Abimanyu, Busyro Muqoddas, dan sejumlah akademisi dari Universitas Gadjah Mada. Tentu saja hadir pula sejumlah intel Melayu.
Afan Gaffar menyampaikan hal tabu berupa pembatasan masa jabatan presiden dan redefinisi fungsi DPR/MPR, Anggito mengusulkan penghapusan monopoli -- yang tentu berakibat ke bisnis anak-anak Soeharto -- dan Busyro mengusulkan sistem hukum yang independen.
Lalu Arifin Panigoro angkat bicara, tak berbasa-basi. "Pak Amien, kondisi di negara kita sekarang ini sudah gawat. Ada krisis ekonomi, krisis moneter, dan juga krisis kepercayaan kepada pemerintah. Masalah ini tidak mungkin bisa diatasi tanpa ada reformasi-reformasi yang besar di pemerintahan."
Mereka membahas sebuah gerakan rakyat. People power.
Mudah ditebak, Pertemuan Radisson itu menjadi isu besar di tanah air. Peserta pertemuan diperiksa tentara, bahkan Arifin Panigoro menjadi tersangka sepulang ke Jakarta.
Beberapa bulan kemudian, sang patriark Orde Baru, Soeharto tumbang.
Generasi yang lahir belakangan, mungkin tak tersentuh lagi dengan cerita perlawanan seperti ini. Zaman sudah lain. Rapat membahas suksesi seperti di Hotel Radisson, Yogyakarta, 24 tahun silam, adalah pemandangan biasa hari-hari ini.
Satu yang pasti: tak banyak pengusaha seperti Arifin Panigoro, pengusaha yang tak larut dengan arus di setiap kekuasaan berganti.
Ia memang pernah ikut masuk politik, menjadi petinggi PDI Perjuangan. Ia keluar dari PDIP dan tetirah dari politik ketika partai itu menjadi penguasa. Presiden Jokowi sempat pula mengangkatnya sebagai Dewan Pertimbangan Presiden, tapi saya tahu, posisi itu takkan menghalanginya untuk bersuara lantang dan terang. Ia tak membutuhkan perlindungan kekuasaan atas bisnisnya, apalagi tambang-tambang minyaknya lebih banyak di luar negeri.
Begitulah. Menjelang subuh tadi, Arifin Panigoro meninggal dunia di Rochester Minneapolis USA. Sang pemberani ini menggenapi perjalanan hidupnya di usia 76 tahun.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat jalan Pak Arifin.