Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > Agama, Sumber Kedamaian atau Konflik?

Agama, Sumber Kedamaian atau Konflik?

Berita Utama | 3 jam yang lalu
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Agama, Sumber Kedamaian atau Konflik?

Oleh: M. Subhan SD

Co-Founder Palmerah Syndicate

    Membaca resolusi konflik yang diterapkan Nabi Muhammad dalam konflik klan Aus dan Khazraj seperti saya tulis kemarin, kita melihat bahwa Islam menjadi sumber kedamaian. Kedua kelompok yang terlibat rivalitas akut bertahun-tahun itu, akhirnya dapat didamaikan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan kedua kelompok menyatu membentuk masyarakat baru di Madinah (kaum Anshar). Namun, dalam perjalanan selanjutnya, dalam penyebaran Islam juga terjadi banyak konflik, sebagaimana juga terjadi pada agama-agama lain. Sampai di sini, ada pertanyaan yang kerap diajukan: apakah agama itu sumber kedamaian atau sumber konflik?


     Setiap perubahan sosial hampir pasti menimbulkan guncangan hebat, terutama yang bersifat radikal dan revolusioner. Sebab, umumnya perubahan itu melahirkan situasi yang katastropik. Sesuatu yang baru, termasuk agama, dihadapkan pada dua sikap: diterima atau ditolak. Jika diterima kan terjadi proses adaptasi, dan jika ditolak akan timbul resistensi. Ketika agama-agama samawi bermunculan, pada umumnya tatanan lama merespon dengan penolakan. Para penyembah berhala (pagan) yang biasa menyembah dewa-dewa (politeisme) tidak dapat menerima risalah agama-agama samawi bahwa Tuhan itu esa (monotesime). 


      Coba kita cermati kemunculan agama-agama samawi yang disebarkan para nabi. Ketika Ibrahim menyerukan risalah kebenaran (millah Ibrahim), ia ditolak bangsanya sendiri (Babilonia), bahkan dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud. Ibrahim pun hijrah dari kampung halamannya di Ur Kasdim (lembah Mesopotamia, Irak) menuju Haran (Turki) dan berakhir di tanah Kanaan (Palestina). Ketika Musa membawa risalah (Yahudi), ditolak oleh Raja Mesir (Fir’aun) dan bahkan ditolak pula oleh bangsanya sendiri, Israil. Musa pun berhijrah dari Mesir menuju tanah terjanji Tanah Kanaan. Ketika Isa/Yesus membawa risalah (Nasrani/Kristen), bangsanya sendiri (Israil) juga menghukumnya. Demikian juga Muhammad. Ketika menyebarkan Islam, juga dimusuhi oleh bangsanya sendiri (Arab Quraisy). Muhammad pun hijrah dari Mekkah ke Madinah.


      Jika demikian, apakah agama menjadi ancaman? Dalam kontestasi kekuasaan (_balance of power_), agama dapat menjadi ancaman bagi _status quo_. Tetapi, agama itu adalah sistem nilai, petunjuk menuju Ilahi. Agama adalah spiritualisme menggapai jalan kebenaran. Maka, agama adalah jalan menuju kedamaian. Di sini, agama memiliki ajaran,  nilai-nilai, norma-norma, peraturan; bukan hanya untuk kepentingan ritual, melainkan pedoman untuk semua aspek kehidupan. Intinya agama menuntut umat manusia melakoni kehidupannya dalam mencari kebaikan dan kebenaran.


     Meskipun demikian, agama tak lepas dari putaran konflik. Memang sering kali agama dilihat berwajah dua (two sides of same coin): wajah damai dan wajah sangar. Dalam sejarah dunia, perang agama paling terkenal adalah Perang Salib antara Kristen dan Islam yang berlangsung ratusan tahun dalam beberapa gelombang, antara abad XI-XIII. Konflik ini tak lepas dari adanya doktrin suci masing-masing agama, walaupun sebetulnya tak bisa dilepaskan dari kontestasi dan rivalitas kekuasaan (balance of power) serta perebutan sumber daya (resources).


      Lebih terasa lagi ketika dimulai periode penjelajahan dunia pada abad XV pasca ditekennya Perjanjian Tordesillas (1494) antara Spanyol dan Portugis, dua kerajaan Katolik yang berselisih kala itu. Penjelajahan dunia  pun dimulai dengan misi 3G yaitu _gold_ (kekayaan), _glory_ (kejayaan), _gospel_ (penyebaran agama), yang melahirkan imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa-banga Asia dan Afrika, dan Amerika.


      Pada era sekarang konflik-konflik bernuansa agama juga menjadi pemandangan umum di banyak negara. Terorisme juga menjadi fenomena dalam bingkai konflik agama. Bahkan di Indonesia, dalam periode pasca reformasi tahun 1999, sejumlah konflik bernuansa agama telah merusak kohesi bangsa. Beberapa kasus konflik agama paling parah adalah konflik Poso (1998-2001) dan konflik Ambon (1999-2002). Jika diteliti, sebenarnya konflik-konflik tersebut bukan berangkat dari semangat perang suci. Tetapi, akibat pertarungan kekuasaan yang digiring menjadi konflik agama. Faktor pemicunya juga masalah hal sepele yang tiada korelasinya dengan agama. Karena itu, kita mesti mencermati benar setiap narasi dan konstruksi konflik agama. Apalagi, sering dikombinasikan dengan sentimen etnik (menjadi konflik etno-religius), sehingga intensitas konflik makin mendalam dan kompleks.


      Saya ingin berbagi hasil reiset konflik etno-religius untuk keperluan disertasi. Penelitian disertasi saya tentang konflik etno-religius di daerah Mamasa, Sulawesi Barat, yang kemudian dibukukan dengan judul Politik, Identitas, dan Konflik (2023), secara pars pro toto, secara induktif, bahwa konflik agama (etno-religius) bukan didasari motif agama. Temuan riset justru konflik terjadi karena motif politik yaitu rebutan ruang kekuasaan akibat perubahan pola dominasi mayoritas-minoritas. 


     Pemekaran di Mamasa telah menciptakan ruang baru, perubahan pola dominasi. Islam (mayoritas dianut etnik Mandar) yang sebelumnya mayoritas berubah menjadi minoritas (sebagian besar berada di kabupaten induk) pasca pemekaran. Kristen (mayoritas dianut etnik Toraja Mamasa) yang semula minoritas berubah menjadi mayoritas (di kabupaten pemekaran). Perubahan pola dominasi itulah yang membuat celah masuknya isu agama. 


     Dengan komposisi geo-demografi dan perubahan pola dominasi itu,  agama pun dapat begitu mudah dimobilisasi, bahwa pemekaran adalah persoalan agama. Padahal pemekaran jelas-jelas soal politik. Di sini agama menjadi instrumen (alat) oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan, dalam hal ini kelompok elite. Bagi pemburu kuasa, konflik politik terlalu ringan untuk membuat perubahan. Tetapi konflik agama dan etnik akan lebih kuat menusuk ke jantung, dan dampak destruktifnya pun luar biasa cepat, besar, dan masif.


     Mengapa sentimen agama (dan dikombinasi dengan faktor etnik) terasa sangat kuat? Agama adalah institusi kebenaran (_body of truth_), hukum (_law ), dan ritual (_rites_) di mana manusia tunduk pada kekuatan transenden (Adeniyi, 2012). Agama menjadi pendorong sekaligus medium bertindak para penganutnya. Betapa efektifnya isu agama dalam konflik, dapat dilihat dalam fungsi sosial agama di arena politik, bahwa agama sebagai sistem kepercayaan, agama menyediakan aturan dan standar perilaku penganutnya, agama menghubungkan ke jaringan dan lingkup lebih besar, dan agama melegitimasi tindakan aksi dan institusi (Jonathan Fox, _Towards a Dynamic Theory of Ethno-religious Conflict,_ 1999). Intinya agama memiliki penjelasan dan saluran ke akhirat.


      Karena itu, gerakan agama sering berada di garda terdepan melawan kapitalisme. Itulah yang terjadi dengan kemunculan gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Di Indonesia, dalam sejarahnya juga basis agama menjadi dasar perlawanan rakyat terhadap kolonial Belanda, baik berupa gerakan rakyat maupun aktivitas politik modern. Secara teoritik, Robert Ted Gurr menyatakan bahwa terjadinya konflik agama-etnik meliputi tiga tahapan: adanya diskriminasi etnik atau agama (minoritas), lalu mobilisasi identitas etnik-agama, dan keterlibatan dalam aksi-aksi politik. 


  Jadi jika ada konflik agama, kita perlu melihat secara jernih. Sebab secara empirik, yang disebut konflik agama tak lebih berupa mobilisasi identitas agama untuk kepentingan politik. Hampir sulit menemukan motif agama secara tunggal. Hampir semuanya bersifat politis.  Memang, dalam intra-agama juga terjadi konflik, tetapi lebih menyangkut persoalan _heresy,_ ajaran yang dianggap menyimpang.  


    Islam tentu saja telah memberi pelajaran penting dalam konteks ini. Nabi Muhammad telah mencontohkan dalam penyelesaian konflik antara klan Aus dan Khazraj atau Pembebasan Mekkah. Khalifah Umar bin Khattab juga melakukan hal sama saat menaklukkan Yerusalem, di mana Islam datang dengan wajah penuh damai. Sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dihapus bahwa ada tidak pertumpahan darah di Yerusalem. Padahal para penakluk sebelumnya membanjiri Yerusalem dengan lumuran darah. Terlebih lagi, Umar pun melindungi orang-orang Romawi Kristen yang dikalahkan, bahkan mengizinkan orang-orang Yahudi yang telah diusir Romawi, untuk kembali ke Yerusalem. Inilah wajah Islam yang damai, _rahmatan lil alamain.


RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER