Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

-advertising-

Beranda > Berita Utama > 76 Tahun Indonesia Merdeka; Perempuan Belum Berdaya Sepenuhnya

76 Tahun Indonesia Merdeka; Perempuan Belum Berdaya Sepenuhnya

Berita Utama | Selasa, 17 Agustus 2021 | 20:24 WIB
Editor : Natalia Trijaji

BAGIKAN :
76 Tahun Indonesia Merdeka; Perempuan Belum Berdaya Sepenuhnya

76 Tahun Indonesia Merdeka; Perempuan Belum Berdaya Sepenuhnya

Masih terjadi ketidaksetaraan gender, budaya patriarki yang masih langgeng di masyarakat adalah akar dari ketidaksetaraan

Surabaya, Kabarindo- Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, apakah perempuan Indonesia sudah berdaya? Topik ini dibahas dalam webinar yang telah diadakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-76 dan HUT Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) ke-14.

Kegiatan tersebut diikuti 100 peserta dari berbagai elemen masyarakat yang menghadirkan pembicara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawanti, Staf Khusus Menteri PPPA, Agung Putri Astrid, dan aktivis sosial Gustika Jusuf dari lembaga Imparsial.

Bintang menyebutkan, 49,42% dari 270,3 juta penduduk Indonesia adalah perempuan. Menurut ia, kemajuan perempuan sudah banyak terlihat. Ia merujuk data BPS pada 2020 yang menyebutkan, persentase perempuan sebagai tenaga profesional meningkat dari 46,31% pada 2017 menjadi 47,46% pada 2019.

Saat ini keterwakilan perempuan di DPR sebesar 20,8%, sedangkan di DPRD mencapai 30,88%. Namun angka keterwakilan perempuan dalam politik belum mencapai jumlah minimal yang diperlukan untuk menciptakan perubahan yaitu 30% dari jumlah kursi legislatif.

Data BPS pada 2019 juga menyebutkan, sebanyak 97,64% perempuan usia 15-59 tahun telah melek huruf. Sayangnya rata-rata lama sekolah perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki yaitu setara kelas 8-9 SMP / sederajat.

Bintang mengatakan, budaya patriarki yang masih langgeng di masyarakat adalah akar dari ketidaksetaraan. Perempuan tidak mendapatkan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang setara dengan laki-laki. Perempuan menjadi korban diskriminasi, stigmatisasi dan kekerasan. Kebutuhan spesifik perempuan terabaikan dan potensi perempuan tidak termaksimalkan.

“Pandemi Covid-19 memperburuk ketidaksetaraan gender, terutama bagi mereka yang memilki kerentanan ganda, seperti tinggal dalam keluarga prasejahtera, menjadi kepala keluarga, memiliki disabilitas ataupun merupakan penyintas kekerasan,” paparnya.

Bintang menekankan, pekerjaan rumah kita saat ini bukan hanya untuk menutup lubang ketidaksetaraan yang masih ada. Namun juga berpikir dua-tiga langkah lebih maju dan memastikan perempuan Indonesia tak lagi tertinggal di masa depan.

Ia menambahkan, Kementerian PPPA bersinergi dengan berbagai sektor pembangunan untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui kewirausahaan, terutama bagi perempuan dengan kerentanan ganda.

Ketidaksetaraan gender terhadap perempuan juga terjadi dalam hukum. Gustika mengatakan, banyak kasus yang menimpa perempuan seperti kekerasan dan pelecehan seksual secara verbal maupun non-verbal di medsos, namun tak pernah diproses secara hukum. Selain itu, secara administrasi, perempuan tidak bisa menjadi kepala keluarga di kartu keluarga meski usianya paling tua di dalam keluarga tersebut. Di sejumlah perusahaan, kepemimpinan perempuan dipandang sebelah mata dan tak diperkenankan sebagai pengambil keputusan. Banyak perusahaan juga tak memperhatikan hak perempuan, misalnya libur haid atau cuti melahirkan.

Menurut Astrid, Kementerian PPPA sudah melakukan berbagai upaya agar perempuan Indonesia mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Berbagai kebijakan yang berpihak kepada perempuan sudah dilakukan untuk meningkatkan keberdayaan perempuan. Misalnya kebijakan terkait keikusertaan perempuan di dunia politik, yaitu kuota 30% untuk perempuan di DPR. Namun butuh perjuangan keras untuk mewujudkannya.

Astrid juga melihat, kebutuhan perempuan kurang diperhatikan dalam situasi darurat. Misalnya ketika terjadi bencana alam, pengungsi perempuan sulit memdapatkan atau bahkan tak tersedia pembalut. Juga belum ada tenda khusus untuk perempuan dan ibu menyusui serta toilet khusus perempuan.

“Diperlukan perhatian dan kerja sama dari pemerintah, legislatif maupun berbagai organisasi perempuan untuk melahirkan banyak kebijakan yang berpihak kepada perempuan, sehingga bisa meningkatkan keberdayaan perempuan Indonesia,” ujarnya.

Bintang mengajak masyarakat untuk menggaungkan pentingnya pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, tidak hanya bagi perempuan, namun juga bagi seluruh lapisan masyarakat.

“Parsipasi yang setara dan penuh dari perempuan dan laki-laki menjadi kunci kesejahteraan suatu bangsa,” ujarnya.

Penulis: Natalia Trijaji


TAGS :
RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER