Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

-advertising-

Beranda > Hukum & Politik > Peran Aparat, Keluarga dan Komunitas; dalam Penanganan Korban Kekerasan Seksual

Peran Aparat, Keluarga dan Komunitas; dalam Penanganan Korban Kekerasan Seksual

Hukum & Politik | Selasa, 29 Juni 2021 | 17:42 WIB
Editor : Natalia Trijaji

BAGIKAN :
Peran Aparat, Keluarga dan Komunitas; dalam Penanganan Korban Kekerasan Seksual

Peran Aparat, Keluarga dan Komunitas; dalam Penanganan Korban Kekerasan Seksual

The Body Shop adakan webinar Perspektif Klinis & Hukum serta Penanganan Kekerasan Seksual

Surabaya, Kabarindo- The Body Shop mengadakan webinar Kekerasan Seksual: Perspektif Klinis dan Hukum serta Penanganannya pada Selasa (29/6/2021) yang diikuti peserta dari berbagai kelompok masyarakat.

Webinar tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang dampak kekerasan seksual dari perspektif klinis; penanganan umum yang dapat dilakukan jika diri atau orang lain menjadi korban kekerasan seksual dan bagaimana proses pendampingan hukum bagi korban. Hasil webinar diharapkan dapat tersampaikan ke masyarakat dan mendorong urgensi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh DPR.

Pada 2020, Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA menyebutkan terjadi 787 kasus kekerasan seksual sepanjang 2020. Jumlah ini turun dibandingkan pada 2019, namun hal ini belum menggembirakan.

Pandemi Covid-19 membuat korban kekerasan dapat kehilangan akses untuk melaporkan kasus yang dialaminya, karena sarana dan prasarana komunikasi atau transportasi yang tidak mendukung untuk mendapatkan akses layanan serta tidak optimalnya penyedia layanan untuk melakukan penjangkauan. Selain itu, ada indikasi bahwa perempuan sendiri masih menganggap kekerasan yang dialaminya adalah sebuah kewajaran.

Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2020, menunjukkan ada 32% perempuan usia 15-49 tahun yang setuju bahwa suami dibenarkan untuk memukul istri karena keadaan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa isu kekerasan seperti gunung es. Permasalahan yang terjadi sebenarnya lebih kompleks dan lebih besar dari pada yang terlihat di permukaan. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya stigma di masyarakat terhadap korban kekerasan, sehingga banyak dari mereka yang enggan melapor.

Regulasi dan norma hukum juga belum banyak berpihak pada korban yang mengalami kekerasan seksual, terutama perempuan. Karena itu, diperlukan edukasi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di tengah masyarakat sebagai upaya memutus rantai kekerasan, serta perlunya pemulihan keberlanjutan bagi korban kekerasan seksual.

Kampanye No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan) merupakan kolaborasi kampanye yang dipimpin oleh The Body Shop Indonesia bersama Plan Indonesia, Magdalene, Yayasan Pulih dan Makassar International Writers Festival dengan fokus utama yaitu Prevention and Recovery (Pencegahan dan Pemulihan). Ini merupakan mekanisme untuk mencegah kekerasan seksual dan menemukan ruang aman.

Ratu Ommaya, Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, mengatakan Kampanye Stop Sexual Violence fase kedua ini merupakan kelanjutan perjuangan bersama pada November 2020-7 April 2021. Kampanye ini merupakan bentuk dukungan terhadap perjuangan untuk mewujudkan UU PKS yang sudah dimulai banyak komunitas, NGO dan aktivis sejak 2012.

Menurut Maya, kita perlu mengajak masyarakat untuk berani berkata tidak, bertindak cepat dan bersuara dalam upaya memutus rantai kekerasan seksual. Selama belum ada hukum yang cukup kuat, kita perlu memberdayakan diri dan orang lain saat berada dalam situasi rawan kekerasan seksual. Saatnya kita berani berkata tidak, bertindak cepat dan bersuara.

Fuye Ongko, Associate Psychologist Yayasan Pulih, mengatakan bahwa kejadian traumatis bisa berdampak signifikan terhadap seseorang. Pandangan terhadap masa depan menjadi terikat pada konsep the past is the future atau masa lalu adalah masa depan. Konsep ini menimbulkan gejolak pada aspek psikologis dan secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan korban dalam menjalani kehidupannya.

Fuye menambahkan, penanganan awal yang tepat bagi para korban atau penyintas kejadian kekerasan seksual akan sangat membantu mereka untuk berproses secara adaptif dalam membuka lembaran baru kehidupan.

Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024, mengatakan Komnas Perempuan mendorong berbagai upaya pemulihan bagi korban kekerasan seksual, mengingat upaya pemulihan sering terpinggirkan. Akibatnya korban harus bergulat dengan dirinya sendiri. Peran pemerintah dan aparat penegak hukum, keluarga serta komunitas menjadi krusial agar korban mendapatkan hak-haknya.

Tuani Sondang Rejeki Marpaung, Staf Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, mengatakan banyak kendala yang dihadapi mitra dan penyintas ketika mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan, mulai dari substansi hukum hingga aparat penegak hukum (APH) yang belum memiliki perspektif terhadap perempuan korban. Masih banyak ditemukan kasus dimana APH justru melakukan victim blaming (menyalahkan korban), yang berujung korban dibebankan untuk pembuktian. Kemudian, APH tidak menginformasikan perkembangan kasus lebih lanjut.

Proses hukum yang sangat panjang untuk mencari keadilan sangat menguras tenaga, pikiran, dan emosional, karena tidak semua korban kekerasan mendapat dukungan moril maupun material dari keluarga maupun lingkungannya, sehingga hal ini sangat berdampak terhadap kondisi psikologis korban. Keadilan sesungguhnya adalah ketika hak-hak korban telah terpenuhi.

Penulis: Natalia Trijaji


TAGS :
RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER