Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
Media sosial yang hiruk pikuk kita menyaksikan betapa popularitas sering kali lahir dari sikap sinis dan serangan terhadap orang lain. Fenomena ini sejalan dengan kebutuhan mendasar manusia: validasi. Abraham Maslow, dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan, menempatkan validasi sebagai kebutuhan psikologis yang mendukung rasa percaya diri seseorang. Namun, pertanyaannya, bagaimana cara seseorang memperoleh validasi tersebut? Dan lebih penting lagi, bagaimana kita dapat memahami validasi dalam lanskap media sosial saat ini?
Bayangkan sebuah penggaris sepanjang 45 cm. Bagaimana cara membuatnya terlihat lebih pendek? Sederhana, ada dua cara: (1) dengan memotong atau menutupinya, atau (2) dengan meletakkannya di samping penggaris yang lebih panjang. Dua pendekatan ini menggambarkan cara manusia dalam mencari validasi di dunia sosial, termasuk di media sosial.
Pendekatan pertama, memotong atau menutupi, mencerminkan strategi sebagian orang dalam meraih pengakuan dengan menjatuhkan orang lain. Mereka yang memilih jalur ini sering kali menyerang, memfitnah, dan merendahkan pihak lain agar diri mereka tampak lebih unggul. Inilah wajah media sosial yang sering kita lihat: kritik tajam yang tidak membangun, gosip yang membesar-besarkan, dan komentar yang dirancang untuk merendahkan demi mendapatkan atensi.
Sebaliknya, pendekatan kedua, yaitu dengan membawa penggaris yang lebih panjang, adalah analogi bagi mereka yang berusaha meraih validasi dengan menunjukkan kompetensi dan prestasi. Mereka tidak sibuk mengurusi kekurangan orang lain, tetapi berfokus pada pertumbuhan diri sendiri. Mereka sadar bahwa pengakuan sejati tidak datang dari menjatuhkan orang lain, tetapi dari membuktikan diri melalui kerja keras dan pencapaian nyata.
Dunia media sosial saat ini menggambarkan dua jalur berbeda dalam mencari validasi. Jalur pertama adalah dengan cara menyerang orang lain. Orang yang memilih jalan ini cenderung menggunakan kritik tajam, menyebarkan hoaks, bahkan memanipulasi opini publik agar dirinya tampak lebih unggul dibandingkan orang lain. Hal ini bisa kita lihat dalam fenomena cancel culture, di mana seseorang bisa dengan mudah dijatuhkan oleh opini kolektif, sering kali tanpa dasar yang kuat. Ini adalah bentuk validasi yang rapuh—karena ketika kebohongan atau manipulasi terungkap, semua yang telah dibangun dengan cara ini akan runtuh.
Jalur kedua, sebaliknya, ditempuh oleh mereka yang memahami bahwa validasi sejati tidak datang dari menjatuhkan orang lain, tetapi dari peningkatan kualitas diri. Mereka yang menempuh jalur ini berusaha menunjukkan prestasi, kreativitas, dan kontribusi nyata, sehingga pengakuan yang mereka dapatkan bukanlah hasil manipulasi, melainkan apresiasi atas usaha mereka. Ini adalah validasi yang kokoh, yang tidak bergantung pada kehancuran orang lain, tetapi pada keunggulan diri sendiri.
Generasi muda, terutama Generasi Z, sangat rentan terhadap kebutuhan akan validasi. Media sosial telah menciptakan ruang di mana eksistensi diukur dari jumlah "like," komentar, dan jumlah pengikut. Banyak yang merasa perlu untuk terus menunjukkan kehidupan yang sempurna, bahkan jika itu harus ditempuh dengan cara yang tidak sehat. Ada yang menggunakan cara pertama—menjatuhkan orang lain demi mendapatkan atensi. Namun, ada pula yang memilih cara kedua—membangun identitas digital yang autentik dan bermakna.
Dalam kondisi ini, kesadaran akan cara yang sehat dalam mencari validasi menjadi sangat penting. Kita harus memahami bahwa tidak ada yang salah dengan mencari pengakuan. Yang menjadi masalah adalah cara yang kita tempuh untuk mendapatkannya. Jika validasi didapatkan dengan menjatuhkan orang lain, maka itu hanya akan membawa kehancuran pada akhirnya. Namun, jika validasi diperoleh melalui kerja keras, ketekunan, dan prestasi, maka itu adalah pengakuan yang sejati.
Dunia ini tidak kekurangan orang-orang yang mencari validasi dengan cara yang tidak sehat. Namun, kita selalu memiliki pilihan. Apakah kita ingin terlihat lebih baik dengan mematahkan penggaris orang lain, atau dengan membawa penggaris yang lebih panjang? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan bagaimana kita menjalani hidup di era digital—apakah kita akan menjadi bagian dari mereka yang membangun atau justru mereka yang menghancurkan.
Media sosial seharusnya menjadi tempat bagi kita untuk bertumbuh, bukan arena pertempuran untuk menjatuhkan. Maka, pilihan ada di tangan kita: apakah kita ingin mendapatkan validasi dengan cara yang merusak atau dengan cara yang membangun? Jawabannya, sebagaimana dalam analogi penggaris, ada pada perspektif dan nilai yang kita pegang dalam kehidupan.