KABARINDO, NEW YORK/JAKARTA – Salah satu kota terpadat di AS, New York, sedang mempersiapkan apa yang sekarang mungkin tak terelakkan: perendaman tanah; hal serupa yang juga telah mengancam ibukota Republik Indonesia.
Pusat ekonomi AS ini sangatlah rentan terhadap perubahan iklim. Dengan garis pantai sepanjang 836 km, para ahli khawatir bahwa permukaan laut akan naik 20-75 cm pada tahun 2050. Peningkatan yang dapat membuat sebagian New York tenggelam, khususnya pulau Manhattan.
Itulah sebabnya kota berpopulasi 8,5 juta orang itu baru-baru ini mengadopsi rencana ketahanan iklim yang menelan biaya $20 miliar (Rp288 triliun) untuk mencoba dan mencegah badai di masa depan.
Salah satu proyeknya yang mencoba melindungi banyak penduduk Manhattan adalah Proyek Ketahanan Pesisir Sisi Timur. Proyek ini bertujuan untuk melindungi 110.000 warga New York di Sisi Timur Manhattan, dari Montgomery Street hingga East 25th Street.
Sebagai bagian dari proyek senilai $1,45 miliar (Rp.21 triliun), pekerjaan telah dimulai di Manhattan tenggara untuk membangun sistem 4km terpadu dari taman yang ditinggikan, dinding penahan banjir, tanggul, dan pintu air yang dapat dipindahkan untuk menciptakan garis perlindungan berkelanjutan terhadap kenaikan permukaan laut dan pertumbuhan ancaman badai pantai yang lebih kuat dan lebih parah yang diperburuk oleh perubahan iklim. Manhattan juga akan menanam kembali ribuan pohon di sekitar lokasi konstruksi dan meningkatkan sistem bawah tanah untuk saluran pembuangan.
"Proyek ini akan menjaga warga New York aman dari badai pesisir dan kenaikan air laut selama beberapa dekade mendatang, sementara juga berinvestasi dalam fasilitas dan meningkatkan akses ke ruang publik di East Side of Manhattan," kata Direktur Kantor Ketahanan Iklim Walikota, Jainey Bavishi. Ia menjanjikan proyek ini akan rampung tahun 2024.
Mirip dengan Jakarta
Serupa dengan New York, Jakarta juga disebut-sebut dapat tenggelam di tahun yang sama.
Dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran Dicky Muslim mengatakan "Jakarta utara bisa tenggelam di tahun 2050, dengan prasyarat bahwa laju penurunan tetap terjadi dan ditambah naiknya muka air laut akibat pemanasan global," tuturnya bulan Juni lalu kepada CNN Indonesia.
Seperti New York, Jakarta juga sedang berjuang mengendalikan laju penurunan muka tanah dengan berbagai upaya.
Melalui program Quick Win Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang dibebankan pemerintah pusat kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Pemprov DKI melalui Dinas Sumber Daya Air, sedang dibangun tanggul laut sepanjang 46.212 meter di 12 titik di Jakarta.
Program pembangunan 'tembok laut raksasa' ini mendapat kritik dari berbagai pengamat masalah urban. Salah satunya dari Jan Sopaheluwakan, pakar geoteknologi, yang menganggap sebaiknya pemerintah melakukan pemugaran kota terlebih dulu sebelum mengerjakan tanggul-tanggul itu.
“Benahi dulu kotanya, dong. Baru bicara Giant Sea Wall,” ujar Sopaheluwakan kepada Tirto.id. Menjadi percuma, menurutnya, jika tanggul raksasa sudah dibangun tetapi penyedotan air tanah terus-menerus dilakukan tanpa ada kontrol serius dari pemerintah. Solusi terbaik, tambahnya, adalah membuka kembali ruang hijau di wilayah selatan dan ruang biru di wilayah utara.
Pemerintah dikabarkan akan mengeluarkan aturan tegas tentang pembatasan penggunaan air tanah di Jakarta setelah persediaan air minum tercukupi. *** (Sumber: Euronews, CNN IND, Kompas, Tirto; Foto: Wikipedia & Setkab)