KABARINDO, JAKARTA - Dari sejak lama perdebatan tentang pentingnya ekosistem hutan dengan kepentingan kesejahteraan (baca: "perut") sudah terjadi.
Tahun-tahun kemajuan pembangunan kini dan meningkatnya jumlah penduduk apalagi setelah politik kekuasaan mulai berkibar berebut pendukung nampak semakin tajam.
Kasus-kasus yang muncul nampak jelas menunjukkan kepentingan ekonomis yang diunggulkan. Masyarakat hampir selalu condong memihak kemajuan fisik daripada kelestarian ekosistem meskipun mengakui ganasnya bencana lingkungan bisa datang tanpa diinginkan menghancurkan pembangunan dan menyengsarakan kehidupan manusia.
Kebijakan Perhutanan Sosial (PS) mengerucut melalui kebijakan membuat Kawasan Hutan Dengan Penggunaan Khusus (KHDPK) yang relatif fleksibel sekitar tahun 2022/2023 menuju tahun politik 2024 yang dilakukan tanpa pertimbangan matang dan tergesa-gesa, bahkan menabrak keilmuwanan serta aturan baku, UU, yang mengabaikan timbulnya konflik sodial yang disahkan atas nama politik kekuasaan khususnya di hutan Jawa. Pulau kecil terpadat berpenghuni separoh penduduk negeri yang paling rentan bencana lingkungan.
Banyak pejabat
Kehutanan, termasuk Perum Perhutani, penjaga tanah Jawa bahkan akademisi dan pihak yang diuntungkan yang terbius untuk ikut merusak hutan Jawa. Tentu dengan dalil-dalil yang dikira bisa membenarkannya.
Pengadilan-pun yang konon "wakil Tuhan" justru mengalahkan rasio dan fakta kebenaran gugatan Serikat-serikat karyawan Perum Perhutani yang masih murni membela eksistensi fungsi hutan Jawa.
Nampaknya hanya sedikit LSM Forum Pembela Hutan Jawa (FPHJ) yang diketuai Eka Santosa dari Bandung, dan aktivis senior Kehutanan dari UGM, IPB, Unsoed dan Unbra yang muncul membela pentingnya hutan yang sebagian terbesar sudah jadi tanaman jagung dan tanaman pangan lainnya itu.
"Pada dasarnya kami sangat mendukung ide perlunya penyejahteraan masyarakat dari tanah hutan (khususnya Jawa) itu. Namun harus dikaji secara hati-hati dan disesuaikan dengan kemapuan daya dukung hutan. Sebagai gambaran berdasarkan perhitungan ilmiah dibutuhkan sekitar 60 persen hutan di Jawa (BPKH XI Yogyakarta, 2003). Sehingga pengurangan hutan terutama hutan lindung sangat tidak bijak. Mungkin lebih tepat membuat tanaman pola hutan-kebun di tanah rakyat", jelas Dr. Transtoto Handadhari, rimbawan senior UGM itu.
"Memang pembenahan tata ruang dan pola tanam Jawa memerlukan waktu lama. Tidak cukup waktu 10 tahun. Tapi itu diperlukan. Juga Perhutani yang merupakan "Soko-Guru" Kehutanan di Indonesia tetap harus dijaga eksistensinya dengan penyempurnaan yang lebih baik, lebih modern dan tehnologis. Jangan malah dikerdilkan", katanya dalam pengucapan selamat promosi kepada Kadivre Perhutani Jawa Timur Wawan Tri Wibowo, rimbawan muda berprestasi, sambil berharap kepentingan fungsi hutan dapat dilakukan harmonis.
"Sebaiknya di luar Jawa dapat dikembangkan sebagai lumbung pangan disamping pemulihan hutannya", tutup Transtoto yang Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008 itu.