Oleh: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
NEGOSIASI adalah "permainan". Negosiasi Israel-Hamas telah mati! Gaza kini memasuki babak akhir, babak "doomsday".
Negosiasi "win-win" yang sempat memunculkan ekspektasi di bulan Pebruari lalu. Kemudian berubah menjadi "negosiasi posisional".
"Diferensial-integralnya, siap-siap masuk ke ambang "negosiasi win-lose".
Negosiasi "win-win" yang diprakarsai trio: AS-Mesir-Qatar, telah menghasilkan pembebasan puluhan sandera Israel, dan ratusan sandera Palestina.
"Negosiasi win-win", yang seharusnya "advanced" ke tahap-2. Seperti yang disetujui dalam kesepakatan Kairo. Mentah! Israel mengubahnya menjadi "extention" (perpanjangan tahap 1).
Negosiasi posisional yang diajukan Israel sepihak, mudah terbaca oleh Hamas. Israel tidak sungguh ingin mengakhiri perang, Israel ingin mengakhiri obsesi Hamas "two nation state".
Kedua pihak, baik Israel maupun Hamas. Menjadi begitu fokus pada kebutuhan masing-masing. Perluasan (Israel), dan kemerdekaan (Hamas). Inilah yang disebut "negosiasi posisional". Tak ada kompromi!
Israel tak ingin kembali ke perbatasan sebelum perang Arab-Israel (1967). Apalagi kembali ke sebelum peristiwa "Nakhba" (1948), di mana tanah mandat Palestina yang saat ini diduduki Israel, dikembalikan seluruhnya.
Israel kukuh hanya ingin memenuhi kebutuhannya. Yaitu membebaskan seluruh sisa 58 sandera (24 masih hidup). Sekaligus "menghabisi" Hamas.
Hari-hari "doomsday". Hari-hari "final execution", entah siapa yang akan menang! Semakin dekat. Kabinet Keamanan Israel. Dengan suara bulat dalam sidangnya (4 Mei) sepakat memperluas kampanye militer ke Gaza.
Sandi "tzavei 8", atau perintah panggilan kepada puluhan ribu prajurit cadangan IDF. Telah dilayangkan untuk memenuhi target pendudukan Gaza.
Ini merupakan titik balik perang Israel-Hamas yang telah berlangsung selama 19 bulan (korban rakyat Palestina 52.500 lebih).
Hamas yang kini tidak menonjolkan kepemimpinan personal. Telah mempersiapkan diri untuk "the point no return". Tak ada langkah mundur.
Kematian para pemimpin Hamas Syech Ahmad Yasin, Abdel Aziz al Rantisi, Ismail Haniyeh, dan Yahya Sinwar, memberi keyakinan bahwa Hamas telah terbiasa menghadapi kematian. Sementara bagi personel militer Israel (IDF)?
Panglima militer IDF, Letjen Eyal Zamir memiliki strategi berbeda dengan pendahulunya Letjen Herzl Halevi. Pendekatan Halevi, kendalikan wilayah, hancurkan infrastruktur, lalu mundur.
Sementara paradigma Zamir, kendalikan wilayah, duduki dan tinggal di sana dalam kurun panjang, dan membangun wilayah yang hancur. Sekaligus mencegah "recovery" Hamas.
"Jerusalem Post" (6 Mei) mengingatkan, paradigma Zamir tersebut. Itu bukan momen "hitam-putih". Apa yang terjadi di 7 Oktober (2023) memberi keraguan. Semudah itukah?
Jajak pendapat di Israel sendiri. Tidak menunjukkan dukungan yang luas terhadap operasi militer pemerintahan PM Benjamin Netanyahu. Tidak semua orang yakin operasi tersebut akan berhasil.
Harakat al-Muqawama al-Islamiya (Hamas) yang artinya "Gerakan Perlawanan Islam" sudah menghadapi ujian "teramat keras" dari Israel. Didirikan Ahmed Yassin (1987), gerakan ini lahir karena melemahnya faksi Al Fatah dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Akan seperti apa Gaza esok? Di tengah ketidakberdayaan dunia terhadap Israel. Kematian hanyalah soal kecil bagi Hamas. Itulah yang menjadi "siksaan psikologis" bagi prajurit IDF.
Kita tunggu operasi perluasan militer Israel, dan daya tahan Hamas. Mampukah Israel mengusir Hamas? Siapakah yang akan kalah?
Ketangguhan dan kukuhnya "negosiasi posisional" Hamas. Merupakan ujian bagi Israel.