Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Hukum & Politik > Temuan Jelang Pilkada 2024: Masyarakat Lebih Mewajarkan Politik Dinasti daripada Politik Uang

Temuan Jelang Pilkada 2024: Masyarakat Lebih Mewajarkan Politik Dinasti daripada Politik Uang

Hukum & Politik | Sabtu, 23 November 2024 | 18:05 WIB
Editor : Natalia Trijaji

BAGIKAN :
Temuan Jelang Pilkada 2024: Masyarakat Lebih Mewajarkan Politik Dinasti daripada Politik Uang

Temuan Jelang Pilkada 2024: Masyarakat Lebih Mewajarkan Politik Dinasti daripada Politik Uang

Surabaya, Kabarindo - Populix meluncurkan sebuah laporan bertajuk Partisipasi dan Opini Publik Menjelang Pilkada 2024: Politik Dinasti dan Politik Uang. Dalam laporan ini ditemukan bahwa sebagian besar calon pemilih cenderung mewajarkan praktik politik dinasti. Namun mayoritas mengaku menolak dan cenderung siap melaporkan praktik politik uang. Kesimpulan ini didapatkan melalui survei kepada 962 responden yang didominasi Gen-Z dan Milenial.

Politik dinasti merujuk pada kekuasaan di bidang politik yang dikuasai oleh sekelompok orang yang masih terikat hubungan keluarga. Meskipun tidak serta merta melanggar demokrasi, pola politik ini cenderung bertentangan dan mengancam konsep desentralisasi kekuasaan yang menjadi landasan sistem demokrasi. Pasalnya dalam sebuah dinasti, keputusan publik cenderung diabaikan.

Populix menemukan bahwa 65% responden cenderung mewajarkan politik dinasti. Bahkan lebih dari seperlima (21%) responden menyatakan bisa menerima politik dinasti. Sedangkan yang benar-benar menolak hanya sekitar 10% dari total responden.

Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat Tamara, mengatakan pewajaran ini bukan tanpa alasan. Sebanyak 74% responden yang mewajarkan politik dinasti beralasan mereka tidak masalah selama kandidat memiliki kompetensi yang baik.

“Temuan ini senada dengan hasil penelitian kami sebelumya tentang kriteria calon pemimpin daerah. Publik kini cenderung lebih berfokus pada sosok calon pemimpin daerah, dengan rekam jejak dan visi-misi sebagai kriteria utama,” ujarnya.

Selain kompetensi kandidat, proses pemilihan umum secara langsung menjadi alasan 54% responden menerima politik dinasti. Hal ini menunjukkan kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilihan umum di Indonesia.

“Lebih dari sepertiga responden percaya, keberlanjutan dinasti akan menjamin keberlanjutan kebijakan dari periode sebelumnya. Alasan ini mungkin mewakili keresahan publik terhadap perubahan kebijakan yang terjadi setiap pergantian kepemimpinan,” tambah Nazmi.

Mayoritas tolak politik uang

Selain politik dinasti, isu lain yang sering muncul selama Pilkada adalah politik uang. Politik uang merujuk kepada praktik pemberian atau janji menyuap agar mereka tidak memilih atau memilih sesuai arahan dari si pemberi suap. Aksi ini biasa dilakukan menjelang hari pemilihan, atau bahkan di pagi hari sebelum pemilihan yang biasa disebut “serangan fajar”.

Menurut survei Populix, 50% responden mengaku pernah ditawari uang atau hadiah saat akan mencoblos. Berbeda dari asumsi bahwa politik uang cenderung terjadi di kalangan menengah ke bawah, 47% responden dari kalangan atas mengaku pernah ditawari suap.

Menurut hasil penelusuran Populix, tim sukses kampanye menjadi agen politik uang yang paling sering ditemukan di lapangan, disusul dengan pengurus partai politik. Selain “orang partai”, teman atau tetangga sekitar, ketua RT maupun RW, juga ditunjuk sebagai perantara suap demi memuluskan kemenangan para bakal calon pemimpin daerah.

Meskipun gencar dilakukan, hanya 35% responden yang mewajarkan praktik politik uang. Selebihnya dengan tegas menolak praktik suap ini. Bahkan 77% dari orang yang menolak politik uang cenderung akan melaporkan pelanggaran ini kepada panitia pemilihan umum maupun pihak berwajib lainnya.

Pengumpulan data survei ini dilakukan pada 23-26 Mei 2024 dengan melibatkan 962 responden secara online dari seluruh wilayah Indonesia. Kriteria responden terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan beragam latar belakang pendidikan, mulai dari SMP hingga S2. Para responden juga mewakili tiga status sosial-ekonomi, mulai dari tingkat bawah (18%), menengah (43%) dan atas (38%).

Foto: istimewa


RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER