Teknologi Biometrik Wajah dalam Identitas Digital di Layanan Publik Berbasis Online
Surabaya, Kabarindo- Perkembangan teknologi termasuk teknologi biometrik semakin canggih, sehingga sudah banyak diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Di beberapa negara, pemanfaatan teknologi biometrik menjadi bagian integral dari layanan publik dan pemerintahan.
Indonesia kini juga telah menerapkan verifikasi biometrik untuk mempermudah segala layanan publik berbasis online yang lebih cepat, aman dan praktis, mulai dari e-KTP, pemeriksaan imigrasi, boarding kereta api hingga verifikasi bantuan sosial.
Samsu Sempena, Direktur Teknologi Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Kementerian Koordinator Perekonomian, menjelaskan verivikasi identitas berbasis biometrik adalah aspek yang sangat penting bagi layanan publik, terlebih untuk memastikan apakah betul penerima bantuan dana APBN seperti Kartu Prakerja tepat sasaran.
“Didukung teknologi liveness detection, kita memastikan bahwa orang yang difoto itu adalah orang sesungguhnya. Jadi kalau dia kasih foto hasil cetak atau misalnya memakai topeng, itu tidak akan lolos dari pengecekan liveness. Kemudian face recognition akan mencocokkan foto dari wajah pendaftar itu kepada basis data centralized di Dukcapil,” ujarnya pada Jumat (5/5/2023).
Samsu menjelaskan, kombinasi kedua metode verifikasi biometrik yaitu liveness detection dan face recognition adalah bagian dari proses verifikasi identitas yang aman. Ini adalah mekanisme yang dilakukan di Prakerja untuk memperketat tahap verifikasi dan sebetulnya ada beberapa lagi tindakan verifikasi yang dilakukan. Namun biometrik dianggap paling efektif dan ampuh untuk melakukan pengamanan data.
Terdapat beberapa faktor untuk memastikan kelancaran teknologi biometrik wajah. Head of Product VIDA Ahmad Taufik, menjelaskan faktor pertama akurasi data, yang ditunjang oleh teknologi kecerdasan buatan. Ketika dilakukan face recognition, platform harus memastikan bahwa yang bersangkutan lah yang melakukan proses onboarding. Di sinilah kegunaan metode liveness detection. Terlebih dengan tren biometrik yang semakin advance, karena telah banyak dikembangkan, assurance level dari AI (Artificial Intelligence) menjadi penting, karena teknologi itulah yang menggantikan proses verifikasi secara manual.
“AI akan memberikan skor, seberapa mirip wajah tersebut dengan pattern yang telah ditentukan ketika dibandingkan dengan biometrik wajah yang berada di pusat data kependudukan nasional,” terangnya.
Faktor kedua yaitu seberapa besar tingkat kepercayaan pihak yang melakukan verifikasi dan bagaimana mereka dapat menjaga data pribadi atau ddigital trust. Yang perlu diperhatikan, pihak mana yang bisa kita percayakan untuk memproses data kita, terutama kaitannya dengan biometrik yang merupakan data sensitif. Sebagai Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) berinduk Kominfo, VIDA menjaga data pribadi pengguna dan digunakan hanya untuk keperluan pengguna, dengan menerapkan enkripsi end-to-end bagi seluruh transmisi data.
“Berbekal sertifikat elektronik, mulai dari verifikasi, keputusan otentikasi layanan digital hingga proses tanda tangan elektronik, VIDA memastikan persetujuan atau consent pada pengguna sepenuhnya,” ujar Taufik.
Teknologi biometrik wajah untuk identitas digital yang inklusif
Taufik menjelaskan Indonesia telah menerapkan teknologi biometrik dalam skala besar, salah satunya data kependudukan nasional yang menyimpan data wajah, sidik jari dan iris. Praktiknya dari ketiga data tersebut, wajah yang paling efektif, efisien dan memiliki tingkat usability (penggunaan) yang tinggi. Untuk meng-capture wajah itu cukup menggunakan kamera, dan kamera itu ada di handphone setiap orang dan dapat digunakan dengan mudah. Jika menggunakan biometrik fingerprint, kita memerlukan handphone dengan kriteria khusus, yang ada finger scan-nya, apalagi iris.
I Gede Putra Arsana, Senior Financial Sector Specialist World Bank, menambahkan verifikasi digital identitas telah menjadi salah satu isu penting di berbagai negara. Di Bank Dunia, dari berbagai prinsip yang bisa diaplikasikan (terkait identitas digital), ada tiga hal yang penting, yaitu inklusivitas, desain aplikasi terkait pelindungan data, dan dari sisi governance atau aturan.
“Harapannya, 3-4 tahun ke depan kita bisa melihat digital ID versi Indonesia yang serupa dengan contoh yang punya Singapura,” ujarnya.
I Gede menyebutkan di Singapura, 97% penduduk dewasa sudah menggunakan SingPass sebagai digital ID secara online, dengan transaksi sudah lebih dari 300 juta kali dalam satu tahun. Identitas digital dengan model seperti ini dapat mendorong transformasi digital di berbagai sektor seperti keuangan, kesehatan, perpajakan, bansos dan lainnya.
Dalam konteks Indonesia, Bank Dunia menyarankan pentingnya beberapa kriteria identitas digital seperti skalabilitas, privasi data dan tata kelola yang baik. Scalable artinya tidak boleh hanya bisa digunakan oleh satu institusi atau satu sektor, namun bisa digunakan oleh berbagai sektor. Data privacy memastikan ada elemen consent, jadi pemilik datanya sendiri yang akan menentukan seberapa banyak data yang bisa diberikan dan untuk apa data itu akan digunakan nantinya. Yang ketiga, harus ada aturan yang cukup melindungi dari sisi penggunanya, pemanfaatan datanya, kemudian untuk pertukaran datanya.