Okeh: M. Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Sambil menikmati teh panas di bawah guyuran hujan, semalam, saya membaca buku Mausu’ah Al-Huquq Al-Islamiyah karya Syekh Sa’ad Yusuf Mahmud Abu Aziz yang ditulis di Gharmin, Manufiah, Mesir, tahun 2000/1421 H. Buku yang terjemahannya berjudul Semua Ada Haknya oleh Ali Nurdin itu sangat tebal: 804 halaman isi plus 24 (xxiv) halaman bagian awal meliputi halaman pengantar dan daftar isi. Dikemas hardcover dengan ukuran buku Unesco (15,5 cm x 24 cm). Memang kurang praktis, apalagi di zaman sekarang orang lebih khusyuk membaca di gawai ketimbang buku.
Setelah melewati halaman 170, sejenak berhenti ketika membaca riwayat yang diceritakan Abu Hurairah. Ada seorang laki-laki berkata kepada nabi: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan salat malam, gemar puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah, tapi sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Apa komentar nabi? Rasulullah SAW berkata: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.”
Dahi agak berkernyit. Terhenyak sebentar. Lalu melanjutkan membaca. Para sahabat berkata lagi: “Fulanah (perempuan lainnya hanya) mengerjakan salat wajib, dan bersedekah dengan beberapa potong keju, tapi tidak (pernah) menyakiti seorang pun.” Untuk kasus ini, Rasulullah berkata: “Dia adalah penghuni surga.” Riwayat yang perawinya Imam Ahmad, juga Imam Bukhari, dan lainnya itu membuat hati bertanya-tanya, mengapa orang yang taat beribadah malah masuk neraka? Bukankah orang berlomba-lomba beribadah karena mengidamkan surga?
Pernah pula membaca riwayat ketika seorang sahabat memuji kesalehan orang lain di hadapan nabi. “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya nabi. Sahabat pun menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.” Nabi bertanya, “Lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” “Kakaknya,” kata sahabat tersebut. Nabi pun mengatakan, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.” Sahabat itu pun terdiam.
Sejujurnya saya selalu iri pada orang-orang yang taat beribadah. Salat tepat waktu, _qiyamul lail_-nya _kenceng_, tidak pernah luput pergi ke masjid, selalu berdiri di saf pertama, puasa Ramadhan-nya lancar bahkan puasa sunah tak putus, sudah berhaji dan umrah yang mungkin berkali-kali, rajin bayar zakat bahkan zakat maal, selalu bersedekah. Urusan ibadah _mahdhah_ (ibadah murni, penetapanyan dari dalil syariat), begitu luar biasa. Apalagi, lengkap dengan atribusi yang terkesan Islami, mulai pakaian bergamis, songkok yang bagus, hingga penampilan fisik yang mengacu pada sunah.. Siapa yang tak ingin dapat menjalaninya sampai setingkat seperti itu?
Tetapi dalam sejumlah kasus dijumpai orang-orang yang taat ibadah terkadang kurang peduli, kurang ramah atau dikeluhkan oleh tetangga atau lingkungannya. Entah dalam pergaulan, entah dalam berkomunikasi, entah dalam aktivitas sehari-hari, entah dalam memegang komitmen dan janji. Biasanya sejumlah masalah muncul dalam relasi sosial. Ada yang merasa paling benar dalam beribadah, orang lain dipersalahkan. Barangkali orang lain dianggap tak selevel dirinya. Terkadang perbedaan dimusuhi, bukan sebuah rahmat. Banyak orang taat beribadah ritual tapi abai ibadah sosial.
Saya jadi teringat diskursus mengenai “saleh ritual” dan “saleh sosial”, yang populer dinarasikan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), beberapa tahun lalu. Saleh ritual merujuk ibadah dalam konteks memenuhi hak Allah terhadap hamba (_haqqullah_) dan hubungan vertikal dengan Allah (_hablum minallah_). Misal, salat, puasa, haji, dan sebagainya. Adapun saleh sosial merujuk pada aktivitas memenuhi hak sesama manusia (_haqqul adami_) dan menjaga hubungan horizontal antarmanusia (_hablum minannas_), serta hubungan dengan makhluk dan alam (_hablum minal alam_). Banyak orang yang saleh ritual, namun tidak saleh sosial. Demikian sebaliknya, ada yang saleh sosial, tidak saleh ritual. Padahal, seharusnya “Menyembah dan mengabdi kepada Allah tidak hanya dalam laku ibadah seperti salat, puasa, dan haji saja. Menyembah dan mengabdi kepada Allah adalah hidup dan kehidupan kita secara utuh” (KHA Mustofa Bisri, _Saleh Ritual Saleh Sosial_, 1995).
Secara pribadi saya sulit menjaga marwah kesalehan ritual, karena belum mampu ikhlas. Kita sadar bahwa ikhlas itu menjadi parameter apakah ibadah kita diterima atau tidak oleh Allah. Terkadang, masih terbetik di hati ada perasaan _riya’_, ingin dilihat sangat Islami, ingin dipuji sebagai orang yang rajin salat, ingin dilihat sebagai orang yang rajin berpuasa, dan seterusnya. Pendek kata, masih ada niat-niat jelek seperti itu. Menjaga hati tidak gampang. Hanya diri sendiri yang bisa merasakan dan mengukurnya. Dan, Allah pasti tahu. Maka ibadah _mahdhah_ itu adalah urusan pribadi dengan Allah.
Saya berkeyakinan, beribadah itu bukan cuma ritual. Kalau dihitung, ini _mah_ sekadar iseng-isengan saja, untuk waktu 24 jam dalam sehari. Kalau untuk ibadah ritual salat wajib 5 waktu, ambil saja masing-masing waktu sekitar 15-20 menit, totalnya mungkin dijalani sekitaran 1,5 jam. Ditambah dengan waktu tidur 6-7 jam, masih ada sisa waktu sekitar 15 jam. Artinya begitu banyak waktu untuk melakukan ibadah di luar ritual.
Maka, saya berkeyakinan bahwa ibadah dapat dilakukan di mana saja: di sekitar rumah, kantor, mal, atau di angkutan umum. Memberi tempat duduk kepada orang tua atau ibu-ibu saat di KRL atau MRT, menurut saya, adalah ibadah. _Ngantre_ secara tertib di depan kasir, tidak _nyerobot_ barisan orang lain, juga ibadah. Mengingatkan pengendara agar tidak _ngebut_ di dalam kompleks permukiman juga ibadah. Memberi senyum saja kepada satpam yang menyambut kita saat masuk ke mal, itu juga ibadah. “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu” (HR. Tirmidzi).
Bahkan menolong kucing juga ibadah. "Barang siapa yang menyayangi dan memelihara hewan seperti kucing, niscaya Allah SWT akan merahmatinya pada hari kiamat nanti" (HR. Bukhari). Nabi punya kucing kesayangan, namanya Muezza. Dikisahkan, nabi bahkan memilih menggunting jubahnya karena tak ingin mengganggu Muezza yang tertidur pulas di atas jubah. Ada sahabat nabi, yaitu Abu Hurairah dijuluki “bapak kucing”.
Tentang ibadah kucing ini juga ada kisah menarik. Seseorang bermimpi tentang sufi Syekh Abu Bakr Asy-Syibli (247-334 H./861-945 M) yang terekam dalam _Nashaihul Ibad_ karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Dikisahkan, As-Syibli yang telah wafat ditanya Allah. "Kamu tahu, apa yang membuat-Ku mengampuni dosa-dosamu?" "Amal salehku," jawab As-Syibli. "Bukan!" "Ketulusanku dalam beribadah." "Bukan!" "Hajiku, puasaku, salatku." "Juga bukan!" "Perjalananku kepada orang-orang saleh dan untuk menimba ilmu." "Bukan!” Sang sufi penasaran, "Ya Ilahi, lantas apa?" Allah mengingatkan Asy-Syibli saat menolong kucing kecil yang menggigil kedinginan di jalanan kota Baghdad. Sang sufi menghangatkan kucing ke dalam mantelnya. “Lantaran kasih sayangmu kepada kucing itulah, Aku memberikan rahmat kepadamu.”
Moral cerita itu meneguhkan bahwa beribadah bukan cuma ritual. Beribadah bukan cuma di masjid, ruang majelis taklim, atau di forum/event urusan-urusan agama semata; tetapi di seluruh hamparan bumi ini ibadah bisa dilakukan. Ibadah bukan cuma ritual seperti salat, puasa, zakat; tetapi juga ibadah sosial menebar kebaikan ke sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Buat saya, tak perlulah menunjukkan kesalehan dari rajinnya ibadah ritual dan atribusi kesalehan lainnya. Sebab, Allah itu sudah sangat amat Maha Mengetahui.