Jakarta, Kabarindo– Tak sedikit dari kita yang melihat masalah pendidikan ibarat fenomena gunung es yaitu gawat darurat pendidikan dipandang insidental, misal hanya terjadi saat terjadi kekerasan pada anak, server UNBK rusak atau ada jembatan roboh. Padahal yang terjadi di banyak ruang kelas dan keluarga di penjuru Nusantara masih penuh keterbatasan, dan terjadi setiap hari.
Dunia pendidikan Indonesia masih menghadapi fakta bahwa hasil PISA 2015 menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam memahami isu sains berada pada peringkat 64, kemampuan membaca pada peringkat 66 dan kemampuan Matematika pada peringkat 65 - dari 72 negara partisipan OECD.
Hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) mengungkapkan prosentase pencapaian siswa Indonesia sesuai standar yang ditetapkan masing-masing di bidang Matematika adalah 77,13%, Membaca sebesar 46,83% dan Sains sebesar 73,61% (Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2016).
Di aspek lain, menurut data UNICEF (2015) 26% anak Indonesia mengalami kekerasan di rumah. Survey ICRW (2013-2014) menunjukkan 27,2% siswa laki-laki dan 9,4% perempuan dari total 1.682 siswa antara usia 12-14 tahun pernah mengalami kekerasan di sekolah.
“Harapan akan keluaran pendidikan yang lebih baik di Indonesia hanya dapat terwujud secara efektif dengan mengubah paradigma pendidikan lebih dari sekedar kegiatan bersekolah. Pendidikan merupakan sebuah proses kolaboratif antara anak, orang tua, pendidik dan lingkungan sosialnya – yang terjadi sepanjang hayat,” tegas Najelaa Shihab, Inisiator Jaringan Semua Murid Semua Guru (SMSG).
Ia menggarisbawahi 3 persoalan utama pembangunan di bidang pendidikan, yaitu akses, kualitas dan pemerataan. “Sekitar 5 juta anak usia sekolah di Indonesia, tidak bersekolah. Perbaikan akses memberi kesempatan anak untuk sekolah, tetapi saat berada di ruang kela mereka dijejali informasi yang seharusnya mudah didapat dengan teknologi,” imbuhnya.
Peningkatan kualitas belajar-mengajar dijumpai Najelaa saat ini masih sebatas pada upaya pemenuhan tujuan yang terlalu rendah yaitu untuk meningkatkan pencapaian nilai ujian atau demi mengungkit data statistik di permukaan.
“Kualitas belum mempercakapkan kebutuhan asasi manusia, pengembangan individu yang utuh untuk menjawab kebutuhan abad 21, atau memupuk insan yang siap berkontribusi bagi dan dari negeri ini. Pemerataan yang diupayakan dalam kenyataannya kerap kekurangan sumber daya atau terjebak dalam sistem penganggaran,” jelasnya lagi.
Peningkatan terhadap akses dan kualitas pendidikan dapat terwujud lebih progresif dan berdampak lebih besar melalui pelibatan aktif seluruh unsur publik. Jaringan SMSG yang lahir sejak 3 tahun lalu bergerak untuk mempercepat pencapaian aspirasi pendidikan Indonesia.
Najelaa mengungkapkan, “SMSG berupaya menggalang emansipasi untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya, melalui berbagai kegiatan kreatif berbentuk sesi peningkatan kesadaran, dialog, konsultasi dan kemitraan program yang menyentuh dan melibatkan anak atau murid, guru, orang tua dan mitra kerja lainnya secara sekaligus.”
Hingga 2018, SMSG didukung oleh sedikitnya 399 komunitas dan organisasi pendidikan, telah menjangkau sedikitnya 500 sekolah yang menjalankan praktik baik dan menjangkau sebanyak 357.329 relawan guru, orang tua dan siswa di 252 kabupaten/kota, serta bekerjasama dengan 15 kementerian/lembaga dan 28 media massa.
Para pegiat Jaringan SMSG percaya, publik yang terdiri dari unsur komunitas atau organisasi pendidikan dan guru, tokoh masyarakat, pemuda, korporasi swasta atau sektor industri, media dan masih banyak lagi, dapat dan perlu diberdayakan untuk turut mendorong peningkatan pendidikan Indonesia.
Pemilihan nama “Semua Murid Semua Guru” sendiri memperluas makna pendidikan yang tidak dibatasi hanya oleh sekolah. Najelaa mengatakan, “Masing-masing dari kita adalah subjek dan sekaligus objek pendidikan. Begitu banyak kegagalan paham yang bisa kita atasi dengan kegemaran belajar karena kita SEMUA MURID. Begitu banyak peran yang kita bisa ambil dan teladan yang bisa kita lakukan karena kita SEMUA GURU.”
Di dalam menjalankan aktivitasnya, SMSG berpegang pada 5 prinsip jaringan yang dilaksanakan bersama, yaitu 1. Mewujudkan pelajar sepanjang hayat; 2. Memberdayakan semua pelaku dan peran; 3. Menghargai keragaman; 4. Berkolaborasi secara terbuka; dan 5. Mempraktikkan standar baik.