Oleh Hasyim Arsal Alhabsi
Direktur Dehills Institute
Ketika Nelson Mandela ditanya wartawan mengapa ia tidak memenjarakan orang-orang yang dahulu menyiksanya, ia menjawab:
“27 tahun saya menderita di penjara. Saya tidak ingin menambah penderitaan saya dengan memenjarakan mereka lagi.”
Itu bukan sekadar jawaban, melainkan strategi kepemimpinan: mengubur dendam demi masa depan bangsa.
Hari ini, Indonesia menyaksikan langkah serupa—meski dengan cara khas Prabowo.
Abolisi Tom Lembong: Simpati Publik Mengalir
Kasus Tom Lembong mengguncang nalar publik. Vonis 4,5 tahun penjara dijatuhkan meski tanpa bukti penerimaan uang dan tanpa mens rea (niat jahat). Rakyat marah. Mereka melihat ini bukan hukum, melainkan politik.
Prabowo membaca situasi. Di saat kehausan akan keadilan, ia hadir dengan “abolisi”—menghapus seluruh vonis terhadap Tom Lembong. Hasilnya, simpati publik yang semula tercurah kepada Tom, kini mengalir deras juga kepada Prabowo. Ia tampil bukan hanya sebagai presiden, tetapi juga sebagai pemimpin yang berani menyelamatkan akal sehat bangsa.
Amnesti Hasto: Jembatan ke PDIP
Berbeda dengan Tom, kasus Hasto Kristiyanto tidak banyak menyentuh hati publik. Namun Prabowo tetap memberikan “amnesti”, pengampunan yang disisipkan bersama ribuan narapidana lain agar tidak tampak vulgar.
Langkah ini bukan untuk rakyat, melainkan untuk politik tingkat tinggi. Informasi beredar: PDIP siap merapat dengan dua syarat, salah satunya pembebasan Hasto. Benar atau tidak, yang jelas, amnesti ini membuka pintu rekonsiliasi Prabowo–Megawati.
Dengan dua keputusan itu, Prabowo mendapatkan tiga kemenangan sekaligus:
1. Simpati publik melalui abolisi Tom Lembong.
2. Jembatan politik dengan PDIP lewat amnesti Hasto.
3. Pukulan halus terhadap Jokowi, yang dinilai publik tengah memainkan politik balas dendam.
Politik Kuda Catur
Langkah ini ibarat kuda catur: tidak bergerak lurus, tapi melompat melintasi jebakan. Dengan dua dekrit pengampunan, Prabowo meraih stabilitas nasional, memegang kendali ketat atas narasi politik, sekaligus memaksa Jokowi mundur selangkah dari panggung kekuasaan.
Era “balas dendam” perlahan dihadang. Era baru sedang dibuka: Pengampunan.
Namun, ada tiga pertanyaan besar yang tersisa:
1. Apakah dengan merapatnya PDIP, stabilitas nasional benar-benar terjamin?
2. Apakah demokrasi akan lebih hidup, atau justru makin terkooptasi elite?
3. Yang paling penting: Apakah langkah ini akan membuat Indonesia sungguh lebih baik?
Jawabannya, sebagaimana politik catur yang sulit ditebak, hanya bisa dipastikan oleh waktu.
Yang jelas, Prabowo telah membuktikan dirinya bukan sekadar presiden, melainkan politikus ulung yang mengendalikan papan permainan.