Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Internasional > Penyair Kontroversial Gaza Syahid

Penyair Kontroversial Gaza Syahid

Internasional | Sabtu, 9 Desember 2023 | 22:02 WIB
Editor : Hauri Yan

BAGIKAN :
Penyair Kontroversial Gaza Syahid

KABARINDO, GAZA -- Ucapan belasungkawa mengalir menyusul tewasnya penyair dan akademisi Palestina yang terkenal dan kontroversial, Refaat Alareer, dalam sebuah serangan Israel di Gaza. Dia terbunuh bersama beberapa anggota keluarganya oleh serangan udara di Kota Gaza pada hari Rabu (6/12/2023) lalu.

Alareer yang berusia 44 tahun adalah seorang profesor terkemuka di Universitas Islam Gaza dan salah satu pemimpin generasi muda yang jadi panutan penulis di daerah kantong tersebut.

"Hati saya hancur," kata penyair Gaza, Mosab Abu Toha, dalam sebuah unggahan di media sosial, Sabtu (9/12/2023).

Alareer juga ikut mendirikan proyek We Are Not Numbers, yang menyediakan lokakarya penulisan bagi kaum muda Palestina di Gaza. Dalam sebuah wawancara dengan Aljazirah, salah satu pendirinya, Pam Bailey, mengatakan bahwa ia merasa sangat kehilangan.

"Banyak orang tahu tentang Refaat, melalui buku-bukunya, melalui puisinya. Itulah mengapa Anda mendengar tentang dia hari ini karena begitu banyak orang yang mencintainya," ujarnya, menceritakan bagaimana dia telah memanusiakan perjuangan orang-orang di Gaza.

Namun, Alareer juga memicu kontroversi dalam beberapa minggu terakhir, dengan membandingkan serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober dengan Pemberontakan Ghetto Warsawa.

Sejak tentara Israel memulai pengeboman tanpa henti di Jalur Gaza, Alareer tetap tinggal di kota asalnya, Shujayea, di utara Gaza, yang sebelumnya ia gambarkan sebagai "lambang kebangkitan Palestina yang menolak untuk bertekuk lutut pada kebiadaban Israel".

Dia secara teratur memposting berita terbaru dari wilayah tersebut yang menggambarkan bagaimana penembakan berat menghancurkan rumah-rumah, bisnis, dan kehidupan warga Palestina di Gaza Utara.

"Tak terkatakan, kebrutalannya," kata Alareer dalam sebuah wawancara di podcast The Electronic Intifada, saat suara ledakan keras terdengar di latar belakang.

"Tidak peduli berapa banyak tweet atau siaran langsung yang Anda lihat, kenyataan di lapangan jauh lebih mengerikan daripada yang ada di media sosial... Kami tidak pantas menerima ini. Kami bukan binatang seperti yang dipikirkan orang Israel. Anak-anak kami berhak mendapatkan yang lebih baik," katanya.

Beberapa pekan sebelum dia syahid, Alareer mengatakan dalam sebuah posting di X bahwa jika dia meninggal, berita itu akan menjadi "dongeng."

Banyak orang Palestina mengenang Alareer karena ia menulis dan berbicara tentang pembebasan Palestina dan menentang pendudukan Israel. Ahmed Nehad, seorang teman dan mantan murid akademisi dan penyair terkemuka Gaza, mengatakan bahwa "warisan Alareer akan hidup selamanya".

"Dia melatih ribuan pemuda Gaza, pria dan wanita untuk menulis tentang Palestina," kata Nehad kepada Aljazirah. "Saya ingat menulis dan membacakan puisi pertama saya untuknya lima tahun yang lalu, dan saya ingat bagaimana dia senang mendengarnya, dan bagaimana dia selalu membantu kami."

Sami Hermez dari Northwestern University di Qatar mengatakan kepada Aljazirah bahwa Alareer adalah "seseorang yang berbicara kepada ribuan orang".

"Sulit ketika Anda memiliki 17.000 orang (yang tewas), dan kami tidak dapat mengikuti kisah masing-masing dari mereka. Yang satu ini menyentuh saya karena saya juga seorang profesor dan penulis seperti Dr Refaat," kata Hermez.

Tapi Alareer juga bisa menjadi kontroversial. Setelah serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, dalam sebuah wawancara dengan BBC, Alareer mengatakan bahwa serangan tersebut "persis seperti Pemberontakan Ghetto Warsawa," yang membuat marah banyak kelompok Yahudi di seluruh dunia.

Pemberontakan pada tahun 1943 itu merupakan aksi perlawanan terbesar kaum Yahudi terhadap Nazi di Polandia yang diduduki selama Perang Dunia II. Menyusul protes tersebut, BBC setuju bahwa "komentarnya menyinggung" dan mengatakan bahwa mereka tidak "berniat untuk menggunakannya lagi".

Ahmed Bedier, dari LSM United Voices for America, mengatakan bahwa wawancara rutin Alareer di stasiun televisi dan acara radio, di mana ia menggambarkan apa yang terjadi di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki kepada khalayak Barat, merupakan alasan utama mengapa "tentara Israel ingin membungkamnya". Red dari berbagai sumber


TAGS :
RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER