Oleh : Hasyim Arsal Alhabsi
Kerusuhan yang meletus pada akhir Agustus 2025 bukan hanya mencerminkan beban rakyat terhadap ketimpangan sosial, tetapi juga mengungkap sisi gelap peradaban ketika amarah berubah menjadi kekerasan. Terutama ketika rumah-rumah pribadi pejabat dijarah—sebuah tindakan yang sepenuhnya tidak dapat dibenarkan, secara moral apalagi secara hukum.
Berdasarkan laporan media dan saksi mata, berikut adalah deretan kejadian penjarahan rumah pejabat dalam dua hari terakhir:
1. Ahmad Sahroni (Anggota DPR, Partai NasDem)
• Rumah di Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara diserbu pada Sabtu sore, 30 Agustus 2025.
• Massa merampas berbagai barang mulai dari tas, kulkas, TV, hingga koleksi action figure Iron Man, serta kendaraan mewah seperti Tesla Model X dan Lexus RZ. Bahkan ditemukan uang dolar Singapura yang dibagikan di kerumunan.  
2. Eko Patrio (Anggota DPR, PAN)
• Sabtu malam setelah Sahroni, rumah Eko Patrio di Setiabudi, Jakarta Selatan, juga dijarah. Barang-barang seperti kulkas, dispenser air, TV, sepatu, dan karpet dicabut dan dibuang massa meski dijaga aparat keamanan. 
3. Uya Kuya (Artis & Anggota DPR, PAN)
• Rumah di Duren Sawit, Jakarta Timur, menjadi target berikutnya. Massa masuk setelah meretas pagar, sambil meneriakkan “Hancurkan!” Barang-barang termasuk sapu lidi dan bahkan hewan peliharaan (kucingnya) ikut digondol. Polisi berhasil menangkap 9 pelaku penjarahan tersebut. 
4. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI)
• Pada Minggu dini hari, 31 Agustus 2025, kediamannya di Bintaro didatangi massa dalam dua gelombang (sekitar pukul 00.30 dan 03.30 WIB). Berbagai barang elektronik, perhiasan, peralatan rumah tangga, hingga ring basket dilucuti. Tindakan ini berlangsung cepat dan aparat tidak cukup kuat menahan gelombang massa. 
5. Nafa Urbach (Artis & Anggota DPR Komisi IX)
• Sekitar pukul 04.45 WIB, rumahnya di Bintaro juga dijarah selama sekitar 15 menit. Mobil kulkas, pakaian desainer, dan TV ikut raib.  
Kejahatan Kolektif: Tidak Ada Alasan yang Membenarkannya
• Menghancurkan Hak Individu & Kolektif
Apa pun kedudukan pemilik rumah—pejabat atau bukan—tidak mentransformasi rumah pribadi menjadi milik publik. Penjarahan ini bukan bentuk protes, melainkan kriminalitas yang mengkhianati prinsip keadilan dan persatuan.
• Dosa yang Dilakukan Bersama Tidak Jadi Meringankan
Dalam perspektif moral dan agama, berangkat dari massa bukan menjadikan perampasan lebih bisa diterima. Dosa kolektif justru lebih mematikan karena menyebar trauma dan menoreh luka sosial. Pelaku pun tidak bisa berdalih “hanya ikut terbawa suasana”.
• Merusak Aspirasi Damai
Aksi brutal ini justru meredam dialog dan aspirasi yang sah. Suara rakyat untuk menuntut reformasi teralihkan oleh sorot kritik atas kekerasan, sehingga tuntutan substantif kehilangan legitimasi publik.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
• Ini adalah ujian moral bangsa: apakah kita memilih jalur hukum, dialog, dan peradaban, atau terjebak dalam lingkaran kekerasan emosional yang sesaat?
• Aspirasi rakyat tetap hak yang harus dilindungi—tetapi cara menyalurkannya harus melalui mekanisme demokrasi dan hukum, bukan perusakan.
• Pemerintah dan masyarakat harus memperkuat literasi hukum: memahami bahwa keadilan tidak dicapai melalui anarki, melainkan melalui tekanan konstitusional dan etika publik.
Penjarahan rumah bukanlah protes, melainkan kekerasan yang merusak fondasi demokrasi dan moral kita. Ketika rumah individu—tanpa terkecuali pejabat—dijarah, yang tercuri bukan sekadar barang, tetapi kepercayaan publik, stabilitas sosial, dan martabat bangsa.
Semoga kita memilih jalan kesabaran yang cerdas, aspirasi yang didengar dengan kepala dingin, dan peradaban yang tidak dirusak oleh amarah. Negeri ini butuh dialog, bukan perpecahan; hukum, bukan kerusakan.