Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi / Direktur Dehills Institute
KABARINDO, JAKARTA -Pernyataan Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut PDIP sebagai “partai perseorangan” adalah kritik yang tajam sekaligus sarat makna strategis. Ungkapan ini tidak hanya menyentil sentralisasi kekuasaan di tubuh PDIP, tetapi juga menciptakan gambaran bahwa partai besar tersebut telah turun level, dari partai wong cilik yang berjuang untuk rakyat, menjadi entitas yang terjebak dalam konflik personal. Analisis ini dapat dipahami lebih dalam dengan melihat bagaimana Jokowi menggunakan komunikasi politik untuk menarik PDIP ke dalam pusaran persepsi yang ia ciptakan.
1. Makna Sederhana “Partai Perseorangan”
• Turunnya Level PDIP: Secara sederhana, istilah “partai perseorangan” yang digunakan Jokowi dapat dimaknai sebagai turunnya level PDIP dari partai besar dengan visi ideologis kerakyatan menjadi partai yang terjebak dalam konflik individu. Dengan kata lain, PDIP yang selama ini dikenal sebagai partai besar yang memperjuangkan kepentingan rakyat kini dipersepsikan hanya melayani kepentingan personal elite tertentu.
• Jokowi Sebagai Perseorangan: Dalam pernyataannya, Jokowi juga secara implisit menyatakan bahwa dirinya kini hanyalah seorang individu yang tidak lagi berada dalam institusi kekuasaan seperti lembaga kepresidenan. Sebagai rakyat biasa, Jokowi kini berdiri sebagai “perseorangan,” tidak lagi terikat oleh hierarki partai atau lembaga pemerintahan. Dengan menarik analogi ini, Jokowi cerdas menciptakan persepsi bahwa PDIP sebagai partai besar justru turun ke level konflik perseorangan dengannya.
2. Komunikasi Politik Jokowi: Menghadirkan Narasi Persepsi
• Narasi tentang Status Jokowi: Pernyataan Jokowi tentang “partai perseorangan” adalah upaya untuk mengarahkan persepsi publik bahwa ia tidak lagi memiliki kekuasaan formal, sehingga tidak seharusnya menjadi target serangan politik dari PDIP. Narasi ini memperkuat citra Jokowi sebagai pemimpin rakyat biasa, yang hanya berupaya menjalani kehidupan pasca-presidensi tanpa terikat pada kekuasaan formal atau partai.
• Menarik PDIP ke Dalam Konflik Personal: Dengan cerdas, Jokowi mengubah narasi pemecatannya menjadi persoalan personal antara dirinya dengan PDIP, bukan persoalan ideologis atau kebijakan. Dalam konteks ini, PDIP yang sebelumnya diidentifikasi sebagai partai rakyat kini justru terlihat seperti partai yang memprioritaskan konflik dengan seorang individu yang sudah tidak memiliki kekuasaan formal.
3. PDIP dan Konteks Konflik Personal
• Pemecatan Pasca-Jokowi: Pemecatan Jokowi oleh PDIP dilakukan setelah masa jabatannya sebagai Presiden berakhir, ketika ia tidak lagi memegang kendali atas institusi kekuasaan. Ini menggarisbawahi bahwa tindakan tersebut bukan lagi soal hubungan antara partai dan pemerintahan, melainkan persoalan persepsi politik dan kontrol narasi.
• Konsekuensi terhadap Citra PDIP: Dengan menargetkan Jokowi secara personal, PDIP berisiko kehilangan posisinya sebagai partai kerakyatan yang memprioritaskan perjuangan wong cilik. Sebaliknya, tindakan ini memperkuat persepsi bahwa PDIP lebih memprioritaskan loyalitas terhadap elite partai dibanding prinsip kolektivitas atau kepentingan rakyat.
4. Jokowi: Strategi Komunikasi Politik yang Subtil
• Penempatan Diri Sebagai Rakyat Biasa: Dalam pernyataannya, Jokowi dengan cerdik memosisikan dirinya sebagai individu yang tidak lagi terikat pada kekuasaan formal. Dengan menyebut dirinya sebagai perseorangan, Jokowi ingin memperkuat citra bahwa ia kini adalah bagian dari rakyat biasa, sehingga konflik yang diarahkan kepadanya justru menciptakan kesan tidak proporsional dari PDIP.
• Menonjolkan Dilema Moral PDIP: Dengan menarik PDIP ke dalam narasi konflik personal, Jokowi seolah-olah memaksa partai tersebut menjawab pertanyaan moral: mengapa sebuah partai besar dengan visi kerakyatan memfokuskan energi politiknya pada persoalan individu, alih-alih perjuangan kolektif?
5. Makna dan Implikasi Politik
• Perubahan Persepsi Publik: Strategi komunikasi Jokowi dapat mengubah persepsi publik tentang hubungan antara dirinya dan PDIP. Sebelumnya, hubungan ini dipandang sebagai bagian dari dinamika politik biasa antara partai dan pemerintah, tetapi kini lebih terlihat sebagai upaya partai untuk mendominasi narasi politik pasca-kepresidenan Jokowi.
• Tantangan bagi PDIP: Kritik ini menempatkan PDIP dalam posisi sulit. Jika partai gagal membingkai ulang narasi pemecatan Jokowi sebagai bagian dari agenda ideologis yang lebih besar, mereka berisiko kehilangan citra sebagai partai kerakyatan yang solid.
6. PDIP dalam Pusaran Narasi Perseorangan
• Jokowi Memimpin Narasi: Dengan menggunakan istilah “partai perseorangan,” Jokowi berhasil memimpin narasi politik dalam konflik ini. Ia bukan hanya menempatkan dirinya sebagai individu independen, tetapi juga menciptakan persepsi bahwa PDIP telah turun level ke dalam konflik personal dengannya.
• Tekanan terhadap PDIP: PDIP kini menghadapi tekanan untuk menjelaskan pemecatan Jokowi dalam konteks yang lebih luas dan ideologis. Jika gagal, tindakan tersebut hanya akan memperkuat persepsi bahwa partai tersebut terlalu bergantung pada figur sentral dan terjebak dalam konflik internal yang tidak produktif.
• Dinamika Politik Pasca-Jokowi: Kritik Jokowi menandai dinamika baru dalam politik Indonesia, di mana figur-figur pasca-kepemimpinan dapat tetap memengaruhi persepsi publik terhadap partai politik besar. Dalam hal ini, Jokowi berhasil membingkai konflik personal sebagai persoalan politik yang lebih besar, yaitu tentang bagaimana partai seharusnya berfungsi untuk rakyat, bukan untuk elite.
Pernyataan Jokowi tentang “partai perseorangan” tidak hanya menggambarkan kritik terhadap PDIP, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk menciptakan ruang politik baru bagi dirinya di luar partai dan institusi kekuasaan. Dengan memanfaatkan komunikasi politik yang subtil dan simbolik, Jokowi berhasil menarik PDIP ke dalam narasi yang menempatkan mereka pada posisi defensif, sekaligus memperkuat citra dirinya, yang sering digambarkan pendukungnya, sebagai pemimpin rakyat kecil.