Hasyim Arsal Alhabsi
Direktur Dehills Institute
Di negeri ini, kita sudah terlalu sering mendengar para tersangka korupsi, pemerasan, atau penyalahgunaan wewenang berteriak lantang “tidak bersalah.” Hampir menjadi pola baku: mereka membela diri, mengelak, bahkan memutarbalikkan fakta. Seakan-akan ruang publik hanyalah panggung sandiwara yang dirancang untuk menguji siapa paling pandai memainkan narasi.
Maka ketika Emanoel Ebenezer atau Noel—mantan ketua Joman (Jokowi Mania)—berucap sederhana: “Semoga saya mendapatkan amnesti dari presiden” saat ditahan, ada sesuatu yang berbeda. Ucapan itu bukan sekadar doa, bukan sekadar harapan, tapi sekaligus pernyataan sikap: ia tidak membela diri, tidak menyangkal, dan tidak juga bersembunyi di balik kata-kata.
Jejak Noel: Dari Joman hingga Berseberangan
Sejak lama Noel dikenal sebagai figur yang cukup lugas. Ia pernah berdiri di garda depan barisan relawan Jokowi. Bahkan, ketika posisinya sebagai Ketua Joman memberi peluang untuk tampil pragmatis, ia justru berani bersaksi meringankan Munawarman—tokoh yang jelas berseberangan dengan Jokowi. Itu pertanda, ada konsistensi dalam dirinya untuk tidak menutup mata meski berseberangan dengan arus besar.
Ketika politik berbelok arah, Noel pun tidak menyembunyikan pergeseran sikapnya. Ia secara terbuka menyatakan dukungan pada Prabowo, bahkan menyiratkan tidak lagi segaris dengan Jokowi bila perahu politik tak lagi sama. Di sini pula tampak, bagi Noel, kesetiaan politik bukanlah ikatan mutlak; ia lebih menekankan pada pilihan rasional dan keterbukaan.
Kejujuran yang Jarang Muncul di Panggung Hukum
Ucapan Noel saat ditangkap—berharap amnesti—mungkin terdengar sederhana, tapi ia menyiratkan sesuatu yang jarang sekali kita jumpai: kejujuran menerima keadaan. Tidak ada narasi konspirasi, tidak ada klaim “saya dijebak,” tidak ada drama penuh air mata. Justru ada pengakuan yang tulus, bahwa ia menghadapi realitas hukum, meski tetap menaruh harapan pada kemurahan hati seorang presiden.
Bandingkan dengan para koruptor besar yang sibuk menyalahkan keadaan, memamerkan pembelaan diri, bahkan mengorganisir opini publik. Noel seakan menampilkan wajah yang berbeda: bahwa ada manusia yang berani berdiri, tidak menutupi apa yang sedang dihadapinya, meski harus menanggung risiko.
Noel yang Tidak Nol
Banyak orang memandang Noel hanyalah “mantan relawan” atau “politik oportunis.” Namun pernyataannya yang sederhana justru meninggalkan kesan lebih dalam: bahwa di tengah dunia politik yang penuh kepalsuan, ia masih menyimpan secuil kejujuran. Kejujuran untuk tidak bersembunyi, untuk tidak menyusun alibi, untuk tidak menipu publik dengan sandiwara yang biasa dimainkan para pesakitan.
Dalam kacamata ini, Noel bukanlah “nol.” Ia tetap meninggalkan catatan penting dalam politik kita: bahwa sikap apa adanya, meski pahit, lebih bernilai daripada kebohongan yang disulap indah.
Mungkin amnesti yang ia harapkan tak pernah datang. Namun keberaniannya menerima keadaan adalah pelajaran kecil bagi kita semua: kejujuran bukan hanya soal benar atau salah, tapi juga soal bagaimana seorang manusia menghadapi dirinya sendiri di hadapan publik.
Psikologi Komunikasi Politik: Ucapan Singkat, Efek Panjang
Dalam perspektif komunikasi politik, pernyataan singkat Noel “Semoga saya mendapatkan amnesti dari presiden” bisa dibaca sebagai bentuk self-disclosure (pengungkapan diri). Dalam situasi krisis, pilihan untuk tidak membela diri justru menghadirkan kontras psikologis di benak publik.
Para tersangka korupsi biasanya membela diri dengan defensive communication—mencari alasan, mengalihkan isu, atau menyerang balik. Namun Noel mengambil jalur sebaliknya: ia menampilkan kerentanan. Psikologi sosial menyebut bahwa kerentanan yang tulus sering kali lebih meyakinkan dan membangun kredibilitas (ethos).
Dengan kata lain, Noel sedang membentuk citra dirinya sebagai seseorang yang tidak bermain sandiwara. Ia tahu publik sudah jenuh dengan kebohongan. Maka, kejujuran—meski pahit—lebih punya resonansi emosional. Inilah politik kejujuran yang jarang sekali dimainkan di panggung hukum Indonesia.
Ethos Noel: Antara Harapan dan Realitas
Ucapan tentang “amnesti” juga menyingkap dua lapis makna. Pertama, pengakuan bahwa ia menghadapi masalah hukum, tanpa menyangkal. Kedua, harapan bahwa masih ada pintu kebaikan melalui kebijakan seorang presiden.
Di titik ini, Noel tidak tampil sebagai sosok “pahlawan” atau “korban konspirasi,” melainkan sebagai manusia biasa yang punya harapan. Justru sisi inilah yang membuatnya tidak nol: ia memberi wajah kemanusiaan di tengah politik yang sering kali kehilangan rasa.
Kejujuran Sebagai Modal Politik
Komunikasi politik modern tidak hanya soal siapa paling pandai berdebat, tetapi siapa yang paling autentik. Noel mungkin tidak sedang memainkan strategi besar, namun secara psikologis ia telah menanamkan citra baru: kejujuran sebagai modal politik.
Di era ketika rakyat semakin sinis terhadap elit, ucapan yang lahir dari ketulusan—meski terkesan sederhana—bisa lebih mengguncang daripada seribu pidato penuh retorika. Dan di sinilah Noel memberi pesan: politik bukan hanya soal menang-kalah, tetapi juga soal keberanian menghadapi kenyataan.