KABARINDO, JAKARTA - Kiai Bisri Syansuri wafat pada Jumat, 25 April 1980 dalam usia 93 tahun, selaras dengan 09/10 Jumadal Akhir, 1400 Hijriah.
KH.Aziz Masyhuri dalam buku "Al Maghfurlah KH. M Bisri Syansuri" mencatat bahwa Kiai Bisri wafat pada Jumat sore, pukul 17.05 WIB.
Beberapa detik kemudian terlihat kesibukan keluarga, santri dan tetangga di tengah duka cita yang mendalam, untuk memberikan penghormatan kepada jasad ulama ahli fikih yang menjadi Rais Aam PBNU pada 1971-1980.
Interlokal ke seluruh Jawa, Madura dan Jakarta dilakukan pada saat itu juga. Banyak para santri yang secara langsung menelepon keluarganya untuk memberitahukan kabar duka tersebut. Karena interlokal Jombang ramai antrian, ada pula beberapa santri yang pulang ke rumah, mencarter mobil untuk memberitahukan kabar duka kepada keluarganya.
Wali santri, keluarga, tetangga, Kiai dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah susul menyusul memberikan penghormatan terakhir.
Malam Sabtu itu juga Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta menyiarkan berita kewafatan Kiai Bisri, demikian juga Televisi Republik Indonesia (TVRI). Berita ini juga diulang keesokan harinya, Sabtu 26 April 1980.
Upacara pemandian jenazah dilaksanakan pada malam itu juga, oleh KH. Mansyur Anwar, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Ahmad Hafidz Ahmad. Sedangkan penyiraman air dilakukan oleh KH. Adlan Aly, KH. M. Iskandar, KH. Jamaluddin Ahmad, KH. Abdul Aziz Masyhuri, KH. Yusuf Hasyim, KH. Wahib Wahab, dan dua putri KH Bisri Syansuri yaitu Nyai Sholihah Bisri (istri KH. Wahid Hasyim Tebuireng), dan Nyai Musyarofah Bisri (istri KH. Fattah Hasyim Tambakberas).
Kiai Aziz Masyhuri menyebut bahwa di Ndalem Kasepuhan, shalat jenazah dilaksanakan sebanyak 32 kali. Karena terus membludak, akhirnya jamaah shalat jenazah dilaksanakan di Masjid Denanyar. Pelaksanaan shalat jenazah terakhir diimami oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
Pada waktu jenazah akan dikeluarkan dari Ndalem Kasepuhan sudah diumumkan bahwa pemberangkatan dan pengangkatan jenazah hanya dilakukan oleh keluarga almarhum. Namun, arus manusia yang demikian meluap ingin ikut serta memikul jenazah membuat isi pengumuman tersebut tidak bisa dilaksanakan.
Jalanan macet dengan lautan manusia dan aneka kendaraan berderet panjang di sekitar Denanyar. Pesantren dipenuhi pentakziah. Jenazah almarhum itu berjalan terus, seolah-olah ada kekuatan ghaib yang mendorongnya dengan iringan derai air mata. Pengiring jenazah terus menerus saling berebut memanggul jenazah, setidaknya sekedar menyentuhnya.
Jenazah dikebumikan pada Sabtu, pukul 13.00 WIB. Pidato sambutan atas nama keluarga disampaikan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Atas nama PBNU disampaikan oleh Prof. KH. Anwar Musyaddad; atas nama DPR RI disampaikan KH. Masykur; atas nama MUI disampaikan oleh Prof. Dr. Hamka; atas nama pemerintah disampaikan oleh Menteri Agama, H. Alamsyah Ratu Prawiranegara; atas nama ulama Jawa Timur disampaikan KH. Mahrus Aly Lirboyo, atas nama partai disampaikan oleh H. Nuddin Lubis; dan disambung oleh, Dr. KH. Idham Cholid yang baru datang ketika doa sedang dibaca oleh KH. Mahrus Aly.
Selepas upacara tersebut, dilakukan sekali lagi upacara mensalatkan jenazah di samping atas liang malam Kiai Bisri Syansuri oleh Dr. KH. Idham Cholid, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Ahmad Syaikhu, KH. Ali Yafi, Dr. KH. Tholhah Mansur, KH. Abdullah Shiddiq, KH. Imron Rosyidi, dan para kiai lainnya yang datang terkemudian, juga para pejabat dan intelektual antara lain J. Naro, Wagub Jatim Sugiono, H. Imam Sufyan, Bupati Probolinggo H. Sudirman, Bupati Jombang Hudan Dardiri, jajaran pimpinan Muslimat (Nyai Asnah Syahroni, Nyai Saifuddin Zuhri, Nyai Ali Masyhur, Nyai Malihah Agus), dan Prof. Nakamura seorang Sosiolog dari Jepang.
Banyak kesaksian atas kebesaran sosok KH. Bisri Syansuri dari para kiai dan tokoh masyarakat. Kiai Yusuf Hasyim Tebuireng, antara lain menyatakan,
"Almarhum KH. Bisri Syansuri, seperti pengakuan KH. As'ad Syamsul Arifin dari Pondok Pesantren Asembagus Situbondo, sebagai Rais Aam PBNU memiliki tiga hal yang sukar dicari bandingannya: (1). Melaksanakan dan menguasai ilmu secara konsekuen, (2) Berpandangan luas mengenai kemasyarakatan, (3) Memiliki sifat panglima.
KH. Hasan Basri pimpinan MUI menyatakan dalam siaran persnya,
"Dengan meninggalnya Mbah Bisri bukan hanya MUI telah kehilangan salah seorang anggota dewan pertimbangan, tetapi bahkan umat Islam serta bangsa Indonesia telah kehilangan seorang ulama besar yang amat besar jasanya terhadap Nusa bangsa dan agama." (Berbagai Sumber)