Oleh: M Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Pendapat Dan Gibson tentang Petra sebagai kiblat awal kaum muslim tentu provokatif. Sampai-sampai langkah kaki seakan tak mau berhenti menyusuri setiap lekuk pahatan dan gua-gua di Petra.
Mencoba menelisik, mengonfirmasi, atau sekadar menangkap suasananya seperti narasi Gibson, bahwa Petra lebih pas menggambarkan "Mekkah" masa awal ketimbang Mekkah di Arab Saudi.
Jujur saja, pendapat Gibson itu mengusik bahkan mengganggu pikiran. Kita tahu, kiblat umat Islam adalah Masjidil Aqsa di Yerusalem dan berubah ke Masjidil Haram/Ka'bah di Arab Saudi.
Gibson menyurvei masjid-masjid awal Islam (tahun 1-263 H/622-876) di banyak negara. Arah kiblatnya diukur. Kemudian dibandingkan: arah kiblat yang ada (actual mosque), arah Petra, arah Mekkah, dan arah Yerusalem.
Selanjutnya ia mengukur sudut meleset di masing-masing arah itu. Kita cermati beberapa hasil survei Gibson. Masjid Jami’ Hama Al-Kabir di Suriah (dibangun tahun 15 H/637): posisi aktual berada di titik 193,87˚, Petra (193,26˚), Mekkah (168,06˚), dan Yerusalem (201,04˚). Arah Petra lebih dekat karena meleset 0,61˚, dibanding Mekkah (25,81˚) dan Yerusalem (7,17˚). Masjid Qasr Humeima di Yordania (dibangun tahun 80 H/699): posisi actual berada di titik 20,64˚, Petra (13,31˚), Mekkah (153,66˚), Yerusalem (357,06˚). Penyimpangan Petra 7,33˚, dibanding Mekkah (133,02˚) atau Yerusalem (23,58˚).
Masjid di Yaman di mana arah Mekkah, Petra, dan Yerusalem berada dalam titik searah di barat laut, titik terdekat lebih mengarah ke Petra. Misal, Masjid Agung San’a (dibangun tahun 86 H/705): posisi actual di titik 333,60˚, Petra (333,24˚), Mekkah (326,12˚), Yerusalem (335,07). Posisi meleset arah Petra 0,36˚, dibanding Mekkah (8,8˚) dan Yerusalem (1,45˚). Masjid Qiblatain di Madinah, pada posisi kiblat awal mengarah Yerusalem, walau Gibson menemukan lebih lurus ke Petra. Yerusalem dan Petra memang searah (barat laut) bila dari Madinah.
Gibson juga menemukan banyak masjid yang kiblatnya tidak mengarah ke Mekkah, Yerusalem, atau Petra; melainkan arah sejajar (paralel) dengan garis yang ditarik antara Petra-Mekkah atau berada di antara (between) kedua kota tersebut. Masjid-masjid itu antara lain terdapat di Aljazair, Spanyol, Tunisia.
Jadi sebetulnya dia menemukan empat arah kiblat masjid pada awal-awal Islam: (1) arah Petra (masjid dibangun tahun 1-125 H, (2) mengarah ke titik between Petra dan Mekkah (dibangun tahun 87-55 H), (3) mengarah paralel dengan garis antara Petra-Mekkah (dibangun tahun 115-252 H), dan (4) mengarah ke Mekkah (dibangun sejak tahun 105 H). Setelah tahun 252 H atau tahun 866 zaman Dinasti Abbasiyah, barulah semua kiblat masjid mengarah ke Mekkah di Arab Saudi (Gibson, Early Islamic Qiblas: A Survey of Mosques Built between 1 AH/622 CE and 263 AH/876 CE , 2017).
Pergeseran dari Petra ke Mekkah di Arab Saudi, Gibson menarasikan, terjadi pada masa konflik internal umat Islam era Dinasti Umayah. Kala itu ada beberapa faksi, antara lain penguasa Dinasti Umayah; Hussein bin Ali (626-680/4-61 H), cucu Nabi Muhammad; juga Abdullah bin Zubair atau Ibnu Zubair (624-692). Setelah Hussein dibunuh Yazid I dari Dinasti Umayah, Ibnu Zubair mendeklarasikan diri sebagai khalifah di kota suci (Gibson berpendapat kota suci Mekkah ini masih berada di Petra). Oposisi Ibnu Zubair terhadap Dinasti Umayah memang sejak era Yazid I (680-683), Muawiyah II (683-684), Marwan I (684-685), Abdul Malik (685-705).
Konflik itu membuat Ka’bah rusak, baik akibat serangan pasukan Umayah yang dipimpin Al-Hajjaj bin Yusuf (661-714) atau saat Ibnu Zubair meratakannya. Ibnu Zubair kemudian membangun kembali Ka’bah. Menurut Gibson (2017), catatan Islam yang ditulis sekitar dua ratus tahun kemudian, tidak memberi informasi di mana pembangunan itu terjadi, sehingga bisa jadi di Petra, atau bisa juga di Mekkah yang jauh di Arab Saudi yang merupakan tempat aman dari tentara Umayah.
Pada tahun 714 (94 H), gempa bumi menghancurkan sebagian besar Petra dan kota itu pun ditinggalkan. Pasca gempa, barulah Gibson melirik kiblat Mekkah di Arab Saudi.
Narasi yang dibangun Gibson memicu perdebatan. David King, pakar sejarah astronomi Islam yang profesor Bahasa dan Sastra Timur Tengah Universitas New York dan mntan Direktur Institut Sejarah Sains Universitas Johann Wolfgang Goethe, Frankfurt, paling kritis merespons Gibson.
Dalam naskah The Petra Fallacy (2018), King mengatakan, Gibson – yang mengutip karya-karya King – telah salah memahami soal penentuan orientasi kiblat dan masjid. Teknik yang digunakan generasi pertama Muslim pada periode dua abad awal adalah “astronomi rakyat”, yang digunakan umum sejak pra-Islam. Belum ada pengetahuan perhitungan matematika dan geografi. Teknis sederhana itu adalah mengamati fenomena cakrawala astronomi, arah mata angin, dan terbitnya matahari, serta pengaturan pada titik balik matahari.
Baru setelah abad ketiga Hijriyah, muslim memiliki alat untuk menentukan arah kiblat lebih tepat, dengan hitungan matematika. Tetapi, karena penggunaannya masih terbatas, teknik astronomi rakyat masih diandalkan seperti ditemukan di berbagai masjid di Kairo, Cordova, dan Samarkand, sehingga memunculkan arah kiblat yang terkadang menyimpang dari arah yang benar (Saifullah dkk, “The Qibla of Early Mosques: Jerusalem or Makkah”, Islamic Awereness , 2001). Alasan lain mengapa masjid tidak sejajar karena masalah kiblat tidak dihitung dari data geografis tetapi diilhami oleh tradisi.
Contoh, masjid di negara-negara Maghribi (kawasan Afrika utara ke barat) umumnya menghadap ke timur dan dan masjid-masjid di India umumnya menghadap ke barat. Di Mesir kiblat yang diadopsi adalah azimuth matahari terbit di titik balik matahari musim dingin. “Masjid Mesir menghadap matahari terbit musim dingin dan masjid Irak menghadap matahari terbenam musim dingin, jadi salah satunya hampir tidak bisa mengharapkan mereka (dalam istilah modern) untuk menghadap Mekah,” kata King.
Di Guangzhou, China, mengikuti King, bagaimana orang tahu dan sengaja menghadap ke arah Petra? Kala itu apakah mereka benar-benar tahu tentang lingkaran besar dunia terestrial? Orientasi masjid mungkin hasil dari meletakkannya menjelang matahari terbenam di musim panas, yang diambil sebagai kiblat bagi China dalam berbagai skema geografi suci Islam.
Karena itu, King mengkritik karya Gibson bukanlah karya ilmiah. Kata King, cara memeriksa arah kiblat masjid pada masa awal Islam atau era Abad Pertengahan (abad ke-5 hingga ke-15) yang tidak menghadap ke Ka’bah di Mekkah dengan ilmu dan ukuran modern, dipandang tidak relevan.
Teknik dan peralatan pengukuran sebenarnya baru tersedia bagi umat Islam di Irak pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9. Hal itu terkonfirmasi dengan arah kiblat, misal, Masjid Agung Samarra di Irak yang dibangun tahun 847 (abad ke-9). Arah kiblat masjid (aktual) berada di 197,79°, Petra (244°), Mekah di (196,66°) dan Yerusalem (253,89°).
Artinya kiblat masjid ke Mekkah (meleset cuma 1,13°), jauh dibanding Petra (46,01°) dan Yerusalem (56,1°). Menurut King, kemungkinan besar dihitung oleh Habash Al-Hasib (766-869), astronom paling inovatif pada abad ke-9 yang karyanya berisi tabel garis lintang Samarra. Habash adalah ahli astronomi, geografi, dan matematika, dengan tabel kotangen-nya.
Di zaman sekarang yang serba modern dan canggih, orang tinggal menggunakan GPS. Bahkan di handphone sudah tersedia banyak aplikasi arah kiblat. Sudah sangat mudah. Tapi, soal kiblat, Gus Baha bilang begini, yang penting salat itu menghadap Ka’bah/Masjidil Haram. “Asal orang menghadap ke barat, orang sudah bilang menghadap ke kiblat. Nggak usah sedetail harus pas Ka’bah.” Ukuran Ka’bah itu sekitar 11-12-an meter. Hanya seradius itu yang pas Ka’bah. “Artinya, beragama itu yang sehat,” kata Gus Baha.