Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi/Direktur Dehills Institute
KÀBARINFO, JAKARTA - Dalam perjalanan sebuah bangsa, kepemimpinan adalah poros yang menentukan arah, dan logika berpikir masyarakat menjadi bahan bakarnya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu menjaga logikanya tetap lurus, berbasis fakta, dan selaras dengan nilai-nilai kebenaran. Namun, saat logika berpikir terganggu oleh narasi manipulatif, perpecahan menjadi bayang-bayang, dan masa depan bangsa terancam.
Di era ini, tantangan besar muncul dari pola pikir yang merusak logika. Narasi yang bertolak belakang dengan fakta sering kali mendominasi ruang publik, menciptakan polarisasi yang tajam. Dalam konteks domestik, hal ini tidak hanya melemahkan struktur sosial, tetapi juga menumbuhkan budaya ketidakpercayaan pada institusi, termasuk hukum, pendidikan, dan kepemimpinan.
Namun, persoalan ini tidak unik bagi Indonesia. Dunia juga menyaksikan fenomena serupa, di mana narasi konflik—antara agama, mazhab, mayoritas dan minoritas, hingga toleransi dan intoleransi—dikelola sedemikian rupa untuk kepentingan pihak tertentu. Kita melihat bagaimana politik global sering kali menjadi lahan subur bagi propaganda, merusak solidaritas umat manusia dengan menciptakan jurang-jurang perbedaan.
Refleksi: Jalan Tengah yang Dibutuhkan
Alih-alih terjebak dalam perang narasi yang memecah belah, kita perlu kembali pada nilai dasar Islam dan kemanusiaan: persatuan dan keadilan. Perbedaan mazhab, agama, dan ideologi tidak seharusnya menjadi alat penghancur, melainkan sarana untuk saling belajar dan memperkaya wawasan. Sebagaimana mazhab hanyalah metode memahami Islam, keberagaman adalah metode memahami dunia.
Narasi destruktif hanya bisa dilawan dengan narasi yang membangun. Masyarakat harus diajak untuk berpikir kritis, bukan emosional. Kepemimpinan yang ideal bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana ia memimpin dengan visi, integritas, dan keberpihakan pada keadilan.
Solusi: Menata Masa Depan dengan Kesadaran Baru
1. Revitalisasi Pendidikan Logika dan Etika:
Pendidikan harus menjadi pondasi untuk membangun generasi yang mampu berpikir kritis dan bertindak dengan etika. Pelajaran logika, filsafat, dan ilmu sosial harus kembali menjadi bagian penting dalam kurikulum, sehingga masyarakat tidak mudah terseret dalam narasi manipulatif. Pendidikan ini juga harus berbasis pada nilai-nilai moral universal yang mengedepankan persatuan dan keadilan.
2. Perkuat Institusi yang Menegakkan Hukum dan Kebenaran:
Tidak ada bangsa yang maju tanpa institusi yang kuat. Pemimpin harus menjadi contoh dalam menegakkan hukum dan nilai-nilai moral, bukan sebaliknya. Narasi manipulatif hanya bisa dibungkam jika hukum berjalan adil dan transparan.
3. Peran Media yang Bertanggung Jawab:
Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk logika publik. Oleh karena itu, perlu ada standar etik yang ketat dalam pemberitaan dan pengelolaan informasi. Media yang bertanggung jawab akan menjadi penyeimbang dalam melawan propaganda yang menyesatkan.
4. Bangun Dialog Antar Golongan:
Perpecahan sering kali terjadi karena kurangnya ruang dialog yang jujur dan terbuka. Negara harus memfasilitasi dialog antara kelompok agama, mazhab, dan etnis untuk mencari titik temu dalam keberagaman. Hal ini juga harus diperkuat dengan narasi persatuan dari tokoh agama, budaya, dan politik.
5. Kepemimpinan yang Merangkul dan Membangun:
Seorang pemimpin tidak cukup hanya dengan kemampuan administratif. Ia harus menjadi simbol persatuan dan harapan. Kepemimpinan harus dibangun atas dasar visi jangka panjang, bukan keuntungan politik sesaat. Seorang pemimpin besar adalah ia yang mampu menyembuhkan luka bangsa, bukan memperdalamnya.
Merajut Kembali Narasi Keindahan
Indonesia adalah bangsa besar yang telah melewati berbagai ujian sejarah. Namun, sebesar apa pun ujian itu, bangsa ini selalu mampu bangkit karena nilai-nilai luhur yang menjadi akar budayanya. Saat ini, kita dihadapkan pada tantangan baru, yaitu kerusakan logika dan narasi yang merusak.
Namun, solusi tidaklah sulit jika kita kembali pada kesadaran kolektif: bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan. Bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan ambisi pribadi. Dan bahwa masa depan bangsa terletak pada kemampuannya untuk menjaga logika, etika, dan persatuan.
Mari merajut narasi baru, narasi yang cerdas, indah, dan berlandaskan nilai-nilai kebaikan. Sebab, hanya dengan itu kita dapat melangkah menuju masa depan yang lebih cerah, untuk bangsa ini dan dunia yang kita huni bersama.