Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
KQBARINDO, JAKARTA - Isu tentang memaafkan koruptor telah menjadi perdebatan sengit di tengah masyarakat. Kritik utama muncul dari anggapan bahwa langkah ini mencederai rasa keadilan, khususnya bagi masyarakat miskin yang paling terdampak oleh tindakan korupsi. Namun, untuk memahami isu ini secara utuh, penting untuk membedakan situasi moral dan hukum yang melibatkan koruptor, sebagaimana yang disinggung dalam pidato Presiden Prabowo Subianto, yang menyoroti perbedaan antara kesadaran sebelum dicurigai dan pengakuan setelah diselidiki.
1. Memahami Diferensiasi Kesadaran: Kejujuran dan Pertobatan
Presiden Prabowo menegaskan bahwa ada perbedaan fundamental antara:
• Koruptor yang sadar sebelum dicurigai: Pelaku yang dengan inisiatif sendiri mengakui kesalahannya, mengembalikan hasil korupsi, dan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki diri tanpa tekanan hukum atau investigasi.
• Koruptor yang sadar setelah dicurigai: Pelaku yang hanya mengaku setelah bukti ditemukan atau berada di bawah tekanan penyelidikan.
Koruptor yang sadar sebelum dicurigai menunjukkan integritas moral yang lebih tinggi. Pengakuan semacam ini mencerminkan pertobatan yang lahir dari kesadaran hati nurani, bukan paksaan. Sebaliknya, koruptor yang baru mengaku setelah dicurigai cenderung bertindak defensif, berupaya menyelamatkan diri dari hukuman tanpa adanya keikhlasan sejati.
2. Bantahan Terhadap Kritik: “Menghargai Koruptor, Mengabaikan Orang Miskin”
Kritik bahwa memaafkan koruptor berarti menghina masyarakat miskin sering kali melupakan beberapa aspek penting:
1. Pengembalian kerugian negara adalah langkah korektif, bukan pembenaran
Memberikan peluang bagi koruptor yang sadar sebelum dicurigai untuk memperbaiki diri tidak sama dengan membenarkan tindakan korupsi. Sebaliknya, pengembalian kerugian negara secara sukarela dapat mempercepat pemulihan masyarakat yang terdampak, termasuk mereka yang miskin.
2. Pemberdayaan masyarakat miskin lebih dari sekadar menghukum
Hukuman tegas terhadap koruptor adalah penting, tetapi bukan satu-satunya cara untuk mewujudkan keadilan. Fokus utama harus pada pemulihan kerugian negara dan penggunaan aset yang dikembalikan untuk program-program yang bermanfaat bagi masyarakat.
3. Konteks niat harus dipahami
Kritik seperti, “boleh dong korupsi sebanyak-banyaknya nanti kalau ketahuan dikembalikan sebagian,” adalah penyederhanaan yang keliru. Koruptor yang sadar dan bertobat sebelum dicurigai memiliki niat berbeda dari mereka yang hanya mengaku setelah diselidiki. Keduanya tidak bisa disamakan.
3. Perspektif Hukum: Restoratif dan Retributif
Dalam keadilan hukum, ada dua pendekatan utama:
• Keadilan restoratif: Berfokus pada pemulihan kerugian masyarakat dan rekonsiliasi. Koruptor yang sadar sebelum dicurigai dapat menjadi bagian dari solusi dengan mengembalikan aset negara dan berkontribusi untuk pemulihan masyarakat. Dalam konteks ini, negara dapat mempertimbangkan keringanan hukuman sebagai bentuk penghargaan atas pertobatan yang tulus.
• Keadilan retributif: Menekankan hukuman sebagai balasan atas kejahatan. Koruptor yang hanya mengaku setelah dicurigai harus dihukum tegas untuk menjaga keadilan dan memastikan bahwa sistem hukum tidak dimanipulasi.
Diferensiasi ini memastikan bahwa keadilan tidak hanya bersifat hitam-putih, tetapi juga mempertimbangkan konteks moral dan niat pelaku.
4. Risiko Ketidakmampuan Membedakan Niat
Tanpa diferensiasi, masyarakat dapat salah memahami kebijakan memaafkan koruptor:
• Koruptor yang sadar sebelum dicurigai:
• Langkah ini dapat mendorong pelaku lain untuk bertobat, mengakui kesalahan, dan mengembalikan kerugian negara tanpa membuang sumber daya untuk investigasi.
• Namun, kebijakan ini harus disertai pengawasan ketat agar tidak menciptakan kesan bahwa korupsi adalah “investasi yang aman” jika pelaku bisa mendapatkan keringanan hukuman dengan mengembalikan sebagian hasilnya.
• Koruptor yang sadar setelah dicurigai:
• Hukuman harus tetap tegas, tanpa kompromi. Tidak ada ruang bagi manipulasi hukum, terutama ketika pengakuan hanya muncul karena tekanan.
5. Keseimbangan Antara Keadilan, Moralitas, dan Pemulihan
Pidato Presiden Prabowo memberikan kerangka kerja yang cerdas dan realistis dalam memahami isu memaafkan koruptor. Membedakan antara kesadaran sukarela dan pengakuan terpaksa adalah kunci untuk memastikan bahwa:
• Keadilan moral tetap dijunjung tinggi dengan memberikan penghargaan pada pertobatan sejati.
• Keadilan hukum tetap ditegakkan dengan hukuman tegas bagi pelaku yang mencoba memanipulasi sistem.
• Pemulihan masyarakat menjadi prioritas utama, dengan memanfaatkan aset yang dikembalikan untuk memperbaiki kondisi masyarakat miskin yang terdampak.
Dengan pendekatan ini, keadilan tidak hanya menjadi soal balas dendam terhadap pelaku korupsi, tetapi juga soal membangun kembali kepercayaan masyarakat dan menciptakan dampak positif bagi mereka yang paling membutuhkan.