KABARINDO, JAKARTA - Saat ini Pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang mengalami krisis politik multidimensi. Mulai dari krisis moral, krisis dukungan politik, krisis kebijakan dan krisis elektoral. Hanya saja partai-partai politik belum mau memakzulkan presiden.
Hal ini diungkapkan CEO PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah saat jadi pembicara dalam acara Pasamoan Masyarakat Sipil Jawa Barat yang bertajuk "Menyoal Rungkadnya Demokrasi dan Mundurnya Reformasi ke Titik Nol", dikutip dari kanal Youtube Obrolan Meja Bundar, Selasa (12/12).
Menurut Eep, sebagian besar rakyat merasakan bahwa keadaan saat ini tidak baik-baik saja. Partai politik yang menempatkan kadernya di DPR pun sudah banyak yang tidak puas terhadap Presiden Joko Widodo.
Indikasinya, menurut Eep, partai yang mendukung Prabowo Gibran hanya merepresentasikan 45, 4 persen kursi DPR. Sementara 54,6 persennya ada di pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar –Mahfud.
Analisa Eep, partai-partai yang tidak puas pada Presiden Joko Widodo menunggu alasan dan momentum tepat untuk bergerak memakzulkan presiden. Selain itu partai partai juga tak ingin memberi peluang pihak-pihak yang ingin Pemilu ditunda punya alasan memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo.
“ Jika partai-partai dan legislatif memulai pemakzulan, maka terganggu lah tahapan-tahapan pemilu,” kata dia.
Eep meyakini, orang yang paling diuntungkan dari upaya pemakzulan yang tidak tepat waktu adalah orang yang ingin pemilu ditunda karena ingin masa jabatannya bertambah.
“Karena itulah partai-partai tak mau bergerak lebih jauh untuk melakukan pemakzulan,” ujarnya.
Selain itu, ujar dia, saat Indonesia dihadapkan pada krisis politik multidimensi, memunculkan isu mendasar bisa menimbulkan gerakan masa dan memancing anarkisme.
“Kalau hal itu terjadi ditengah suasana kampanye, maka undang-undang darurat bisa diberlakukan oleh kepala negara,” kata Eep.
Eep yakin partai-partai politik yang tidak puas pada presiden Joko Widodo dan para aktivis tahu konsekuensi dari diberlakukannya undang-undang darurat.
“Maka semua kendali akan dipegang oleh kepala negara,” ujarnya.