Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > La Tahzan, Jangan Bersedih!

La Tahzan, Jangan Bersedih!

Berita Utama | Minggu, 23 Maret 2025 | 16:34 WIB
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
La Tahzan, Jangan Bersedih!

Oleh: M. Subhan SD
Co-Founder Pakmerah Syndicate
     
   Fatimah berlinang air mata. Menangis tersedu-sedu. Gadis usia 14 tahun itu syok ketika melihat sang ayah, Muhammad, pulang dalam keadaan berlumuran tanah dan kotoran di sekujur tubuh. Bagian kepala kotor sampai ke rambut. Pakaian dan jubahnya kotor. Nabi dilempari tanah dan kotoran oleh orang-orang Quraisy. Putri mana yang tidak sedih melihat ayahnya dipersekusi? Tambah sedih karena Fatimah masih berduka ditinggal ibunda, Khadijah.   


     Sambil sesenggukan Fatimah membersihkan tubuh dan baju ayahnya. Pelan-pelan, dengan agak gemetar menahan tangis, ia menyingkirkan butiran-butiran tanah dan kotoran dari tubuh ayahnya. Bagi seorang ayah, tangisan anak perempuan seakan sembilu mengiris hati. Dada terasa berat.

Tetapi nabi adalah manusia mulia, dengan reaksi yang tenang, bijak, dan terukur. "Jangan menangis anakku," kata nabi kepada putri kesayangannya itu. "Tuhan akan menolong ayahmu." Nabi menguatkan hati sang anak. Padahal nabi juga tengah berduka sebagaimana sang anak. Nabi baru kehilangan dua orang yang disayanginya. Pamannya, Abu Thalib, dan istri tercinta, Khadijah, yang wafat nyaris beruntun. 


     Abu Thalib (nama aslinya Abdul Manaf) adalah sosok pelindung nabi.  Abu Thalib berdiri di depan nabi ketika diserang para pemuka Quraisy, seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Utbah bin Rabi'ah, Umayyah bin Khalaf, An-Nadhr bin al-Harits. Di antara mereka juga ada kerabat dekat nabi, yakni Abu Lahab. Nama aslinya Abdul ‘Uzza, anak Abdul Muthalib. Berarti saudara Abdullah, ayah nabi.

Sebetulnya Abu Lahab sangat bahagia menyambut kelahiran nabi, sang kemenakan. Saking girangnya, ia sampai memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai rasa syukur. Tetapi ketika nabi membawa risalah kebenaran, Abu Lahab menjadi musuh besar, terabadikan dalam Al-Quran (QS. Al-Lahab).


    Khadijah juga pelindung dan pendukung utama nabi. Bukan saja sebagai istri setia yang mendampingi, Khadijah juga penopang finansial dakwah nabi. Hartanya diserahkan untuk kepentingan syiar Islam. Khadijah berperan besar yang membuat nabi dan kaum Muslim dapat bertahan dari aksi boikot (embargo) kaum Quraisy. Baru saja lepas dari pengucilan, dua sosok itu pergi untuk selamanya. Nabi bersedih bukan main. Tahun itu pun disebut tahun kesedihan (amul huzn). Saat itulah Allah menghibur nabi dengan perjalanan isra mi’raj. 


     Di tahun kesedihan itu, persekusi kaum Quraisy terhadap nabi makin kalap. Eskalasi kekerasan terus meningkat. Tindakannya lebih kasar lagi, setelah sosok-sosok yang melindungi nabi tiada. Tak ayal, kepedihan Fatimah tak terperihkan lagi. Sudah kehilangan ibunda tercinta, lalu penghinaan menyedihkan dialami sang ayah. Namun, seberapa buruk pun persekusi yang diterimanya, nabi selalu merespons dengan kebaikan.


     Di bawah perundungan Quraisy yang menjadi-jadi, nabi  pun pergi ke Thaif. Berharap dapat perlindungan atau suaka dari klan Tsaqif. Jarak Thaif kira-kira 90-an kilometer, arah tenggara Mekkah. Thaif adalah kota pegunungan, kira-kira berada di ketinggian 1.500-1.800 mdpl. Dengan udara yang sejuk, Thaif menjadi pusat kunjungan orang-orang Arab pada musim panas. Mirip Puncak, Bogor. Thaif menjadi kota wisata, yang sekarang dapat dijangkau dengan berkendara kurang dari 1,5 jam. Nabi berdakwah ke Thaif.


    Apa yang terjadi? Bani Tsaqif menolak mentah-mentah. Penduduk Thaif pun dihasut sampai menimbulkan kemarahan. Mereka mencemooh, memaki, dan menyoraki nabi beramai-ramai. Masih tak puas, mereka menimpuki nabi dengan batu, hingga kaki nabi berdarah. Nabi pun lari menghindari kerumunan massa. Berlindung di sebuah kebun milik Utbah dan Syaibah, anak-anak Rab’ah. Nabi terduduk di bawah pohon kurma. Rupanya mereka punya belas kasihan juga. Disuruhnya Addas, budak mereka, memetik anggur dan memberikannya kepada nabi. 


     Di bawah pohon kurma itu, nabi berdoa mengadukan kelemahannya, dan sekaligus mohon perlindungan kepada Allah. Jibril mengetahui kondisi dan perasaan nabi. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Allah telah memerintahkan malaikat penjaga gunung untuk menerima apa yang diminta nabi. Malaikat penjaga gunung di Thaif itu berkata, "Wahai Muhammad, aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung ini ke atas mereka."


    Namun, meski dizalimi, nabi tidak marah apalagi ingin balas dendam. Nabi justru memikirkan masa depan penduduk Thaif dan masa depan risalah yang diembannya. Kepada Jibril dan malaikat penjaga gunung, dengan lembut nabi berkata,  "Walaupun mereka menolak ajaran Islam, aku berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya." 


     Nabi tidak mau membalas. Ia percaya, Allah akan melindungi. Ketika situasi Mekkah makin tidak kondusif dan kekerasan semakin meneror, kaum Muslim makin ketakutan dan akhirnya terusir. Tetapi Quraisy tidak puas. Mereka memburu nabi saat hendak berhijrah ke Madinah.

Targetnya membunuh nabi. Bersama Abu Bakar, nabi  pun bersiasat agar bisa lolos dari kejaran Quraisy. Ketika mereka bersembunyi di Gua Tsur, Abu Bakar sangat ketakutan, karena langkah-langkah kaki orang Quraisy begitu dekat, persis di atas kepala mereka. Sejurus saja pasti persembunyian mereka terbongkar. Dan, tamatlah riwayat mereka. 


    Kepada Abu Bakar yang gemetaran ketakutan, nabi berkata, “ _La taḫzan innallaha ma‘ana_ (Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita).” Lalu, Allah menurunkan ketenangan kepada nabi, memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak terlihat (QS At-Taubah: 40). Laba-laba merajut sarangnya menutup lubang gua. Burung merpati pun bersarang dan bertelur di depan gua. Pohon-pohon tumbuh di mulut gua. Para pemburunya yakin, tidak ada manusia di situ. Sarang laba-laba dan burung, serta pohon terlihat sudah cukup ada di situ. 


     “Jangan bersedih!”menjadi pegangan umat Islam setiap menghadapi bencana atau cobaan. Kata-kata itu memberi kekuatan sekaligus harapan. Hari-hari ini kita menyaksikan betapa banyak saudara-saudara kita, terutama di Gaza, Suriah, dan di berbagai belahan bumi lainnya, hidup dalam penderitaan, tekanan, teror, dan kematian. Anak-anak kehilangan masa depannya. Orang-orang tua kehilangan harapannya. Lelaki dan perempuan meratap dalam kesedihan tak berkesudahan. La tahzan, dapat menjadi kekuatan untuk bertahan.
 

Bagi kita, la tahzan menjadi asa untuk terus membangun solidaritas, kekuatan, bantuan; sekaligus jadi  pendorong dihentikannya tindakan brutal manusia-manusia (rezim) biadab. Untuk semua itu, kita berserah pada Allah, pemilik alam semesta. 


RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER