Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > Ketika Muhammad Mengajari Berdemokrasi

Ketika Muhammad Mengajari Berdemokrasi

Berita Utama | 5 jam yang lalu
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Ketika Muhammad Mengajari Berdemokrasi

Oleh: M. Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate

    Pikiran saya sering terusik dengan tesis dua pemikir kondang, Francis Fukuyama (The Last Man Standing and The End of History, 1992) dan pembimbingnya, Samuel Huntington (The Clash of Civilization,  1993) bahwa Islam tidak compatible dengan demokrasi. Benarkah? Tampaknya kita perlu mengambil jarak agar tidak terjebak dalam respons yang reaktif dan defensif. Kita perlu bukti-bukti dan membangun narasi yang logis untuk mendukung bahwa Islam adalah sistem nilai yang selaras dengan demokrasi. 

    Kita dapat memulai dengan peristiwa pada tahun 605. Kala itu Ka’bah, rumah suci kuno, hampir selesai direnovasi pasca terkena banjir bandang selain sudah berusia tua. Memasuki tahap akhir renovasi timbullah perselisihan. Beberapa klan (bani) bangsa Quraisy berselisih pendapat soal siapa yang akan memindahkan hajar aswad (batu hitam) ke tempatnya semula. 

Dalam renovasi itu, setiap klan atau kabilah bertanggung jawab membangun dinding tembok Ka'bah yang terdiri empat sisi itu. Masing-masing klan meninggikan tembok sampai 11 meter. Begitu selesai, mereka fokus untuk meletakkan kembali hajar aswad. Namun, setiap klan merasa paling berhak untuk melakukan tugas suci di kuil kuno tersebut. Sebab, memindahkan batu suci itu adalah sebuah kehormatan.

      Tak ayal, mereka berdebat keras. Saling rebutan. Masing-masing klan punya argumentasi sendiri-sendiri. Bani Abd’d-Dar dan Bani ‘Adi takkan membiarkan kabilah lain mengemban tugas terhormat itu. Salah satu tokoh Bani Abd’d-Dar adalah Usman bin Thalhah yang belakangan pasca penaklukan Mekkah diserahi kunci Ka’bah oleh nabi. 

Tokoh Bani ‘Adi adalah keluarga Khattab, ayah Umar bin Khattab. Kedua klan ini  bahkan sampai mengangkat sumpah darah (la’aqat’d-damn). Ada juga Bani Makhzum, dengan tokohnya antara lain Amr bin Hisyam yang populer dengan nama Abu Jahal.

     Perselisihan terjadi sampai lima hari. Tiada kata sepakat atau konsensus, bahkan sekadar kompromi pun. Situasi memanas. Hampir-hampir saja terjadi perang di antara klan sesama Quraisy itu. Melihat situasi yang tidak kondusif itu, Abu Umayya bin Al-Mughirah dari Bani Makhzum, tokoh senior yang dihormati angkat bicara, “Serahkanlah putusan kalian ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini." Artinya siapa yang esok hari datang paling awal ke area Ka’bah, dialah yang punya wewenang untuk memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara klan Quraisy pembesar Mekkah itu. Kali ini semua sepakat.

    Tentu saja semua klan ingin yang pertama masuk ke areal Ka’bah, melalui pintu Shafa. Mereka pun sudah melakukan persiapan untuk datang paling awal. Setiap anggota klan melakukan persiapan agar bisa bangun paling pagi. Karena, semua klan ingin kabilahnyalah yang dapat memutuskan atau sekaligus memindahkan hajar aswad. Persaingan antar kabilah dalam perebutan kekuasaan kota Mekkah sangat kental. Mereka membanggakan kabilah masing-masing (ashabiyah). 

    Malam itu Ka'bah tampak lengang. Tidak ada orang yang tersisa. Semua bersiap-siap untuk datang paling awal pada pergantian hari. Dengan begitu, dialah yang mendapat kehormatan untuk mengemban tugas memindahkan batu suci itu. Dengan demikian, pula klannya semakin dihormati. Setelah hari berganti, pada dini hari atau subuh, ketika penduduk Mekkah bergegas berlomba cepat-cepatan untuk memasuki areal Ka'bah, mereka terkejut karena melihat sudah ada orang yang datang lebih dulu. 

    Ternyata orang yang pertama yang datang adalah Muhammad, yang baru saja pulang dari perjalanan berdagang. Sudah menjadi kebiasaan, selepas kembali dari membawa kafilah dagang, Muhammad langsung pergi ke Ka’bah untuk melakukan perputaran doa. Walaupun terkejut karena sudah yang mendahului mereka, tapi penduduk Mekkah tak terkejut begitu mengetahui orang paling awal adalah Muhammad. Semua perwakilan kabilah, berseru, “Ini al-amin, kami dapat menerima keputusannya.” 

“Ia orang yang tepercaya, kami lega,” sambung yang lain. Bila dianalisis, sesungguhnya sedang terjadi pergeseran kekuasaan di Mekkah. Kekuasaan yang tadinya berada di tangan klan-klan tersebut saat itu telah beralih ke tangan Muhammad.

     Para perwakilan klan pun menceritakan keputusan mereka yang memberi kepercayaan kepada orang yang pertama kali datang ke Ka’bah untuk memutuskan pemindahan hajar aswad. Muhammad berpikir sebentar. Di sinilah Muhammad memperlihatkan praktik demokrasi ketika semua kelompok/klan mempunyai hak yang sama. 

Semua klan juga punya tanggung jawab bersama. Muhammad lalu berkata, ”Kemarikan sehelai kain.” Ia menghamparkan kain itu. Perlahan ia memindahkan hajar aswad ke atas kain, dan berkata, “Hendaklah setiap wakil kabilah memegang ujung kain ini.” 

     Semua klan akhirnya mengangkat kain dan menggotong batu hitam untuk diletakkan di posisinya. Hal itu dilakukan bersama-sama. Semua klan punya kontribusi yang sama, tidak ada yang terdiskriminasi. Muhammad telah mengajarkan praktik demokrasi yang genuine, ketika semua pihak berpartisipasi. 

Dampaknya terhindarkan perang di antara para klan tersebut. Muhammad telah mengajari bagaimana cara berdemokrasi. Esensi demokrasi yang memberikan hak publik diterapkan Muhammad secara konkret. 

    Andai Muhammad bukan seorang demokrat sejati, dengan mandat penuh yang diberikan para klan tersebut, niscaya dia dapat menggunakan untuk dirinya sendiri. Tentu saja momentum itu dapat dikapitalisasi sebagai tonggak  kekuasaan baru dalam konstelasi politik di Mekkah. Tetapi Muhammad tidak melakukannya. Ia tak membiarkan syahwat kuasa merasuki dirinya. 

     Itulah yang tidak dilakukan oleh para politikus modern, termasuk di Indonesia, bahkan politikus Muslim cum partai-partai yang berbasiskan Islam. Untuk contoh yang ini, para politikus kita tidak mau belajar, atau mengambil sebagai contoh. Padahal Muhammad adalah teladan terbaik (uswatun hasanah). 

Sayangnya, politikus sekarang justru berlomba-lomba mengumpulkan kekuasaan, dengan cara apa pun, termasuk sikut sana sikut sini, transaksional, pragmatisme. Aneh, malah berkiblat ke Machiavelli (1469-1527) yang menghalalkan segala cara. 

    Padahal Muhammad adalah inti pemikiran demokrasi Islam. Ada prinsip musyawarah (syura), kebebasan (al-hurriyah), kesetaraan atau persamaan (al-musawah), dan akuntabilitas publik (al-mas’uliyah). Saya menduga pandangan Fukuyama dan Huntington, serta pemikir Barat lainnya, mungkin mengukurnya dengan demokrasi liberal (yang sekular) yang sekarang berkembang di Barat dan banyak negara. 

Padahal, dalam pikiran sederhana saja, becermin pada demokrasi kuno di Yunani, intinya adalah keputusan bersama, melibatkan banyak pihak (publik), dan pentingnya kebebasan individu. Ini semua tindakan politik adalah untuk kebaikan bersama (bonum commune atau maslahah).


RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER