Oleh: Dr. Hinca IP Pandjaitan XIII, SH, MH, ACCS
“Sepakbola kita ini tak pernah sepi drama. Bergeser sedikit dari lapangan, selalu ada dinamika yang meletup bagai guncangan kecil, memicu efek domino di ruang ganti.”
Begitu kira-kira penggalan gumam saya ketika menatap derasnya reaksi publik pasca pemecatan Shin Tae-yong (STY) dari kursi kepelatihan Timnas Indonesia pada 6 Januari 2025 lalu. Berangkat dari sudut pandang sebagai orang yang pernah duduk belasan tahun di PSSI, saya memahami betul bagaimana ketegangan-ketegangan di belakang layar kadang lebih berpengaruh daripada adu taktik di atas rumput hijau.
Saya paham, masyarakat kita sedang terbelah oleh emosi dan pertanyaan: “Mengapa harus STY yang dipecat? Bukankah ia telah sukses mengantar Timnas ke level yang lebih tinggi?” Saya, secara pribadi, pun ikut menelan ludah penuh kejutan. Bagaimanapun, kita tak bisa menampik fakta: di tangan STY, Timnas Indonesia perlahan terangkat dari peringkat FIFA 153 (pada 2021) menuju 125 saat ini. Butuh keberanian besar untuk membuat lompatan semacam itu, apalagi kondisi awal Timnas kala itu belum benar-benar menyala. STY datang membawa ekspektasi publik sedemikian tinggi, dan tak sedikit di antaranya kini kecewa berat atas pemecatan ini.
Tapi sekali lagi, sepakbola tidak cuma soal hasil di atas kertas, melainkan juga soal harmoni. Dari kacamata saya, Ketua Umum PSSI Erick Thohir, atau yang akrab disapa ET, tampaknya menghadapi situasi yang cukup kompleks terkait dinamika antara pelatih dan pemain—terutama para pemain diaspora kita. Sebetulnya, ini bukan soal siapa benar dan siapa salah. Lebih tepatnya adalah bagaimana sang Ketua Umum mengambil langkah yang dirasa paling tepat demi menjaga atmosfer ruang ganti agar tidak menjadi “tong mesiu” yang sewaktu-waktu meledak lebih dahsyat.
Mari kita mundur sedikit ke laga kontra Bahrain beberapa bulan silam, sekitar pertengahan November 2024. Menurut laporan Kompas (18 November 2024), terjadi benturan gagasan—atau katakanlah “keretakan”—di tubuh Timnas pasca pertandingan tersebut. Sejumlah pemain diaspora disebut berupaya mengajak STY berdiskusi soal strategi dan evaluasi setelah kita gagal menutup laga dengan kemenangan, gara-gara gol penyeimbang tuan rumah di menit-menit akhir.
Akan tetapi, kabarnya STY justru enggan membuka dialog. Entah karena keterbatasan waktu, suasana hati, atau memang ada alasan lain. Satu hal yang tercium adalah ketidaknyamanan sang pelatih saat pemain mencoba “menggugat” beberapa keputusan taktiknya. Perbedaan persepsi ini kian membesar dan, konon, merambat hingga pemberian “hukuman” non-teknis pada laga berikutnya melawan China pada 15 Oktober 2024.
Bukti nyata—jika kita berpatokan pada laporan berbagai media—terlihat dari komposisi Starting XI kontra China. Tiba-tiba, beberapa pemain diaspora krusial seperti Thom Haye, Jordi Amat, Sandy Walsh, bahkan Malik, diparkir di bangku cadangan. Yang mengejutkan pula, ban kapten Jay Idzes tiba-tiba dicopot, lalu berpindah ke lengan Asnawi.
Publik pun bertanya-tanya: “Ada apa ini? Kenapa para diaspora yang biasanya jadi tulang punggung justru dipinggirkan?” Saya bukanlah tangan kanan STY, namun melihat fenomena semacam ini, saya menduga masalah yang mengintip bukan sekadar soal “rotasi biasa.” Ada dinamika non-teknis—seperti pergesekan ego, mis-komunikasi, atau kendala kultural—yang memicu retakan semakin melebar.
Apalagi, rumor meruak bahwa ketidakharmonisan tersebut melibatkan Mees Hilgers dan Eliano Reijnders, dua pilar diaspora yang baru-baru ini mulai unjuk gigi bersama Skuad Garuda. Kabar pun sempat menyinggung kemungkinan potensi “gesekan baru” apabila Ole Roemeny (pemain diaspora lain) ikut bergabung, mengingat kepribadiannya disebut mirip dengan Mees Hilgers. Sekali lagi, tidak ada yang bisa memastikan sejauh mana isu ini akurat. Namun, asap tidak akan muncul tanpa api. PSSI pun, menurut sumber, terpaksa turun tangan langsung demi meredam keadaan.
Kesesakan yang Berujung Pemecatan
Pertandingan kontra China berakhir 1-2, menambah catatan pilu. Semua lampu sorot publik pun tertuju pada “mengapa strategi brilian STY tiba-tiba tumpul?” Tekanan kian deras, mulai dari tuntutan media, netizen garis keras, hingga lobi-lobi internal PSSI. Di sinilah ET tampaknya menimbang berbagai faktor dengan kepala pening.
Sebenarnya, rumor pemecatan STY sudah menggema seketika usai laga melawan China. Hanya saja, PSSI memilih menunggu momen yang lebih tepat—mungkin agar tidak terlihat gegabah. Semakin hari, aura di ruang ganti makin suram, bagai langit mendung yang menanti hujan badai. Lalu, akhirnya pada 6 Januari 2025, keputusan pun jatuh: Shin Tae-yong diberhentikan sebagai pelatih Timnas Indonesia.
Meski menyesakkan, saya mengajak publik untuk melihat dari perspektif yang lebih luas. Bukan berarti STY tak punya jasa. Justru, kita semua tahu tangan dinginnya sudah melejitkan performa Timnas. Namun, di dunia kepelatihan, relasi antarpemain dan pelatih itu ibarat klop kunci dan gembok. Ketika mulai macet, risikonya adalah seretnya kinerja satu tim. Dalam konstelasi kompetisi kualifikasi Piala Dunia Zona Asia yang makin kejam, dinamika internal tim berpotensi menjadi bumerang lebih fatal.
Saya tidak sedang mengatakan ini adalah keputusan terbaik atau terburuk. Hanya saja, kita juga tahu bahwa PSSI sebagai federasi tentu tak ingin Timnas terperosok lebih dalam gara-gara konflik berlarut. Baik STY maupun para pemain diaspora, saya yakin, sama-sama punya niat mulia untuk memajukan sepakbola Indonesia. Tapi sekali lagi, “perceraian” kerap terjadi bukan semata tak cocok, melainkan karena keretakan kecil yang tak terjembatani di saat krusial.
Teka-teki Patrick Kluivert: Mengulangi Kekeliruan?
Satu hal yang membuat saya cukup gusar adalah rencana PSSI mendatangkan Patrick Kluivert sebagai pelatih baru Timnas Indonesia. Ya, nama Kluivert mencuat bak meteor di berbagai media. Mantap? Belum tentu. Rekam jejak Kluivert di dunia kepelatihan setidaknya belum tergolong gemilang. Malah cenderung meredup. Sebagai mantan striker Barcelona, ia mungkin brilian di depan gawang lawan, tapi catatan kepelatihannya masih penuh tanda tanya.
Belum lagi isu hukum yang sempat membelit Kluivert, soal perjudian dan dugaan pengaturan skor di Belanda. Jika isu ini benar adanya, tentu jadi beban moral dan reputasi bagi Timnas Indonesia. Saya pribadi tak alergi dengan pelatih asing, tapi harus diakui, kita wajib lebih selektif. Jangan sampai kita beralih ke tangan yang meragukan—bukan saja soal kompetensi, tapi juga integritas.
Dalam kacamata manajemen kepelatihan, stabilitas lingkungan tim adalah aset. Seperti yang banyak dikutip dari teori transformational leadership, kepercayaan dan sinergi antara pelatih dan pemain adalah kunci menumbuhkan performa puncak. Pertanyaannya, apakah Kluivert sanggup—dengan reputasinya yang naik-turun—membina hubungan solid dengan para diaspora yang kita andalkan? Jangan sampai kita berganti muka pelatih, tapi masalah non-teknis tetap melilit, malah makin runyam.
Pilihan Sulit, Harapan Tidak Padam
Wajar jika banyak pencinta sepakbola mempertanyakan: “Apakah pelatih baru dapat menjamin lebih baik?” Jawaban pendeknya: belum tentu. Sepakbola memang sering melahirkan paradoks. Namun, kita harus optimis. Bukan berarti kita melupakan jasa STY atau menafikan potensi berulangnya kisruh serupa. Dukungan publik terhadap Timnas Indonesia harus tetap membara, apa pun warna kursi pelatihnya.
Sejauh ini, Timnas menempati peringkat ke-3 klasemen Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Posisi ini masih membuka peluang, meskipun menuntut perjuangan ekstra dari segi taktik, mental, dan tentu saja, kebersamaan. Kita berharap siapapun pelatih yang didatangkan nanti—entah benar Kluivert atau kandidat lain yang lebih aman—dapat mengadopsi prinsip kepemimpinan partisipatif: pelatih mendengar, pemain menyuarakan, federasi mengakomodasi. Sebab, kunci dalam memimpin tim adalah keterbukaan.
Sebagai seseorang yang dulu pernah menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI, saya tahu aroma pusingnya mengurus sepakbola Indonesia. Tekanan politik, ekspektasi suporter, ego para pemain, plus intervensi sponsor, menjadi kuali adukan yang kadang meletup hingga tak terduga. Dalam kasus pemecatan STY, saya menaruh hormat pada STY atas segala pencapaiannya. Namun, saya juga memaklumi langkah ET untuk melindungi Timnas dari perpecahan yang kian panas.
Saya tetap mengajak segenap pencinta sepakbola di Tanah Air agar jangan terjebak dalam polarisasi—“tim STY” vs “tim pemain diaspora”—atau mengeksekusi hujatan yang justru membelah kita sendiri. Kita semua ingin Timnas Indonesia melaju lebih jauh, bahkan hingga menorehkan prestasi di level Piala Dunia. Ini adalah cita-cita bersama.
Semoga dengan dinamika ini, kita bisa memetik pembelajaran. Bahwa manajemen tim adalah soal bagaimana meracik harmoni di antara banyak kepala. “Anak bandel” sekalipun, bila ditempatkan di posisi yang tepat dan dipimpin dengan pendekatan yang pas, bisa mendadak menjadi pahlawan di lapangan. Sebaliknya, sekelas bintang dunia pun bisa mati gaya kalau suasana timnya penuh cekcok.
Mari kita akhiri dengan sebuah pengingat: Sepakbola bukan cuma permainan 11 orang melawan 11 orang. Ia adalah cermin kepribadian kolektif, wadah suporter, representasi kebanggaan bangsa. Kita boleh bersilang pendapat soal siapa yang pantas jadi pelatih, tapi jangan pernah padamkan semangat dan dukungan untuk Timnas Indonesia. Karena sejatinya, sepakbola adalah kita.