KABARINDO, BERLIN - Hari Rabu (15/12) menandai pertama kalinya dalam hampir 20 tahun bagi sebuah kapal perang Jerman, Fregat Bayern, berlayar ke Laut China Selatan.
Langkah Berlin bergabung dengan, di antaranya, Inggris, Prancis, Jepang, Australia dan Selandia Baru yang juga telah memperluas aktivitas militer mereka di Pasifik adalah untuk melawan ambisi teritorial China.
Cina mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan sebagai miliknya, meskipun ada keputusan pengadilan internasional bahwa Beijing tidak memiliki dasar hukum untuk klaim ini, dan telah membangun pos-pos militer di pulau-pulau buatan di perairan yang mengandung ladang gas dan perikanan yang kaya.
Kapal angkatan laut Jerman telah memulai transit melalui Laut Cina Selatan dalam perjalanannya ke Singapura yang diperkirakan akan memakan waktu beberapa hari, juru bicara kementerian pertahanan di Berlin mengatakan pada hari Rabu.
Angkatan Laut AS juga telah dikerahkan di kawasan perairan yang dilalui 40% perdagangan luar negeri Eropa ini sebagai upaya menentang kebijakan ekonomi dan luar negeri Beijing yang semakin memaksa.
Namun, tidak seperti AS yang berlayar melalui Selat Taiwan, angkatan laut Jerman akan tetap berpegang pada rute perdagangan umum.
Jerman harus mengambil langkah keamanan dan ekonomi dengan hati-hati karena China telah menjadi mitra dagang terpenting Berlin. Ekspor Jerman di sana telah membantu mengurangi dampak pandemi COVID-19 terhadap ekonomi terbesar Eropa.
Indonesia Waspada Tapi Kekurangan Alutsista
Kehadiran kapal perang asing di perairan negara-negara ASEAN menjadi perhatian pakar keamanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie.
“Kami benar-benar harus berhati-hati karena kami akan melihat lebih banyak kapal perang, pasti,” kata Connie kepada Kompas TV, September lalu.
Sementara itu, kepada media yang sama, Pangkoarmada I Laksamana Muda TNI Arsyad Abdullah mengatakan TNI AL kekurangan alutsista untuk mengamankan kawasan Laut Natuna Utara.
Menurutnya, bila mempertimbangkan kemampuan radar kapal perang, TNI AL membutuhkan setidaknya 8 KRI untuk menjaga Laut Natuna Utara, sedangkan Indonesia hanya punya lima kapal perang.
Hal ini mendorong TNI AL untuk menggunakan sumber daya yang ada.
“Kondisi yang dihadapi sekarang dengan sangat minimnya kekuatan karena keterbatasan anggaran, kita berupaya memperpanjang pemantauan menggunakan pesawat patroli udara maritim,” kata Arsyad. ***(Sumber: Reuters, WTN, Kompas TV; Foto: DW News)