Oleh: Sabpri Piliang
Wartawan Senior
Dunia kehilangan kata-kata! Dunia kehilangan alasan! Dunia seluruhnya, telah "menimba" aib. Membiarkan Israel sesukanya!
Selubung peradaban terkoyak-koyak! Kekosongan "leadership" di negeri adidaya. Menciptakan "Homo Homini Lupus", tak terperikan.
Gaza, enklaf sempit di mediterania, bak negeri "Zombie" bermata "merah", dengan tatapan nanar. Dua juta lebih rakyat Palestina tak punya tempat berpijak, tempat mengadu!
Kawan sesama Jazirah Arab. Apalagi lawan, seakan tak melihat mereka sebagai makhluk "bernyawa". Entah tak berdaya, atau enggan menerima konsekwensi!
Tak salah bila penyair Palestina Hiba Abu Nada (tewas Oktober 2023 oleh Israel), dalam keputusasaannya, sempat menulis satu puisi berjudul: "A Star Said Yesterday".
"Dan jika suatu hari, cahaya di seluruh galaksi. Di seluruh alam semesta. Tak punya lagi ruang untuk kita. Kau akan berkata: 'Masuklah ke dalam hatiku. Di sana kau akhirnya akan aman".
Bahaya mematikan genosida, seakan dianggap biasa! Negara-negara yang semestinya mampu menghardik Israel, terbagi dalam tiga varian: "mengecam! membiarkan! dan mengancam memberi konsekwensi!
Inggris, Perancis, dan Kanada termasuk kelompok negara yang sempat mengancam Israel. Agar tidak melanjutkan serangan masif-nya ke Gaza. "Kami akan melakukan tindakan konkret. Bila Israel menyerang masif Gaza" (The Guardian 20/5).
Norwegia, Irlandia, Spanyol, Slovenia, Swedia, masuk dalam kategori kelompok yang mengecam Israel. Menjadikan "kelaparan" sebagai senjata perang sangat tidak beradab.
"Pressure" negara-negara Skandinavia (Nordic), Spanyol, dan Irlandia ini, bahkan melampaui apa yang ditakutkan Israel. Pengakuan terhadap eksistensi negara Palestina. Sebuah idiom yang sangat dibenci Israel.
Sementara AS, dengan probabilitas berderajad paling tinggi untuk "menghentikan" keganasan Israel. Cenderung membiarkan!
Ini mempersulit Inggris dan Perancis, dalam menerjemahkan tindakan konkretnya kepada Israel: tindakan militer, atau sanksi ekonomi (ekspor senjata).
Sementara, negara-negara Liga Arab, atau Dewan Kerjasama Teluk (GCC), telah "dikunci" oleh AS lewat "Kesepakatan Abraham" (UAE, Maroko, Sudan, Bahrain) dengan Israel (tahun 2020).
Kesepakatan yang bertujuan kemakmuran dan stabilitas Timur Tengah ini. Membuat ke-4 negara Arab (Teluk & Afrika) ini, "terpasung" dan tak bisa membantu Rakyat Palestina menekan Israel.
Genosida terhadap rakyat Palestina oleh Israel, tidaklah abstrak. Bukan pula sekadar slogan, seperti bantahan PM Israel Benyamin Netanyahu. Bahwa tidak ada genosida di Gaza! Netanyahu menyebut, orang baik seharusnya menolak 'idiom' genosida!
Perang Gaza yang menginjak usia 20 bulan, bukanlah "perang abstrak". Genosida, dengan "melaparkan" (baca: blokade makanan), telah mengundang elemen beragam dunia. Deklarasinya, Israel telah melakukan genosida.
Terakhir, 380 penulis dunia (The Writers) menegaskan! "Perang pemerintahan Israel di Gaza adalah genosida". Penulis dunia, seperti dikutip "The Guardian" (28/5): Frank Cottrell, George Monbiot, Russel T. Davies, Ian McEwan, dll. Menyerukan gencatan senjata.
Inklusifitas terminologi genosida tak lagi terbendung. Di samping 380 penulis dunia, sebelumnya: Amnesty International, Human Right Watch, Dewan HAM PBB, ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) telah membuat identifikasi yang sama. Genosida!
Berpulang kepada AS. Karena Inggris dan Perancis yang "tindakan konkret"nya mandek. Tak akan berani menghentikan "keganasan" Israel, tanpa restu AS.
Robert T. Kiyosaki seorang penulis terkenal, dalam bukunya "Rich Dad Poor Dad" (2011) mengingatkan. "Hidup manusia selamanya dikendalikan dua emosi: Ketakutan dan Ketamakan".
Israel takut dengan eksistensi negara Palestina. Juga tamak untuk tak ingin berbagi tanah.
Padahal "two nation state" di tanah yang sama, adalah sebuah histori dan kenyataan.
Itulah satu-satunya solusi komprehensif perdamaian abadi, di Timur.