Indonesia Targetkan Capai Net Zero Emission pada 2060
Industri petrokimia dinilai paling tepat untuk bertransformasi menjadi industri hijau dan berkelanjutan
Surabaya, Kabarindo- Pemerintah Indonesia, telah menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Salah satu industri yang disoroti untuk turut menekan emisi adalah petrokimia, karena merupakan industri di sektor hulu yang menyediakan hampir seluruh bahan baku industri hilir seperti industri plastik, tekstil, cat, kosmetik hingga farmasi, dengan melalui proses produksi yang memanfaatkan energi.
Karena itu, industri petrokimia dinilai paling tepat untuk bertransformasi menjadi industri hijau dan berkelanjutan, guna mendukung target tersebut yang diwujudkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Praktik NZE dilakukan dengan penyerapan gas rumah kaca dalam jumlah yang sama atau lebih besar dari emisi yang dihasilkan. Sebagaimana dipaparkan dalam webinar diskusi publik Indonesia Net Zero Emission 2060, Transformasi Industri Petrokimia Menjadi Industri Hijau, industri petrokimia berperan signifikan dalam upaya pencapaian bebas emisi karbon, bahkan sebagai penentu keberhasilan tercapainya bebas emisi karbon yang tertera dalam Paris Climate Agreement.
Dengan demikian, kesiapan pelaku industri menerapkan prinsip keberlanjutan dalam menjalankan bisnis hingga tercipta industri yang lebih hijau perlu diperhatikan, terutama di industri petrokimia, mengingat peran vitalnya yang mendukung tercapainya ketahanan pangan dan menjadi katalisator ekonomi pada level nasional maupun global.
Sebagai salah satu pemain utama di industri petrokimia Indonesia, PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim/PKT) siap menjadi pionir transformasi industri petrokimia menjadi industri hijau.
Rahmad Pribadi, Direktur Utama Pupuk Kaltim, mengatakan industri hijau dapat terwujud dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang sudah tertera dalam roadmap PKT agar lebih hijau dan berkelanjutan.
“Kami di Pupuk Kaltim melihat ke depannya, perusahaan tidak hanya dituntut menjadi lebih produktif, tetapi juga lebih ramah lingkungan. Hal ini tertuang di roadmap 40 tahun kedua PKT yang akan fokus ke arah industri petrokimia yang berbasis renewable. Roadmap tersebut akan terus kami kembangkan dengan fokus pada 3 pondasi utama, yaitu efisiensi energi lewat digitalisasi, diversifikasi usaha dengan bahan baku energi terbarukan dan melakukan praktik ekonomi sirkular guna memanfaatkan emisi produksi menjadi komoditas bisnis baru seperti soda ash. Praktik-praktik ini tidak hanya sebagai upaya mengurangi jejak karbon, tetapi dapat memberikan dampak keberlanjutan dan multiplier effect positif baik bagi perusahaan, masyarakat sekitar maupun negara,” ujarnya.
Dalam upaya pengurangan jejak karbon, Rahmad menjelaskan PKT sudah memulai penggunaan biomassa sebagai sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, sebagai campuran pembangkit listrik boiler batubara. Melalui praktik ini, diperkirakan dapat mengurangi emisi pabrik hingga 5,4%. Langkah lain yang telah dilakukan PKT adalah reaktivasi pabrik urea Proyek Optimasi Kaltim (POPKA-2) yang berpotensi mengurangi emisi 3,4% atau sebesar 145.408 ton CO2 per tahun. Juga menyiapkan kapasitas penyimpanan carbon storage sebesar 130 MM ton CO2 atau sekitar 21% dari total potensi penyimpanan karbon di Indonesia.
Selain upaya inovasi yang dilakukan perusahaan, PKT secara aktif turut mengembangkan keterlibatan masyarakat sekitar melalui kehutanan dengan mengajak mereka untuk menanam tanaman yang mampu menyerap lebih banyak CO2, seperti mangrove, matoa, mahoni, durian dan lainnya secara bersama-sama. Kegiatan ini dapat mengurangi gas emisi karbon dan mampu memberikan nilai tambah dengan memanfaatkannya menjadi produk seperti kosmetik, makanan dan lainnya.
“Kami mengembangkan budaya ramah lingkungan sebagai bagian dari program Environment, Social and Governance (ESG) perusahaan. Ke depannya, PKT menargetkan untuk menanam 50,000 jenis pohon di antaranya mangrove yang mampu menyerap karbon hingga 37.500 ton per tahun. Program penanaman ini nantinya akan terus berekspansi ke wilayah yang lebih luas agar carbon capture atau storage secara biologis tidak hanya terfokus di satu tempat. Dengan demikian dapat tercapai serapan karbon emisinya maupun keuntungan bagi masyarakat,” papar Rahmad.