KABARINDO, JAKARTA - Krisis air merupakan ancaman yang nyata. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, sejak 2017, dari empat manusia, satu orang tidak mendapatkan air layak minum. Indonesia diprediksi mengalami krisis air di tahun 2040.
“Kita harus mewaspadai dan merespons prediksi World Research Institute itu. Indonesia perlu orkestrasi tata kelola ekosistem air. Ancaman krisis air sangat nyata dan kian memprihatinkan,” kata Pakar pertahanan dan pangan, Dina Hidayana.
Dina, yang juga Sahli MPR RI ini mengingatkan, bahwa Badan Pangan Dunia (FAO) di tahun 2000 pun telah melaporkan temuan sekitar 2 juta orang yang mayoritas anak-anak dari negara miskin dan berkembang menderita berbagai penyakit yang disebabkan kelangkaan air, kelaparan dan sanitasi yang buruk, artinya air sangat berkaitan erat dengan sektor pangan dan non pangan, termasuk tingginya mortalitas.
Indonesia baru saja menjadi tuan rumah dalam perhelatan World Water Forum (WWF) ke-10 yang berlangsung 18-25 Mei 2024 di Bali. Pertemuan internasional yang digagas Dewan Air Dunia sejak 1997 ini dimaksudkan membahas isu-isu dan kebijakan air di tataran global.
“Indonesia yang memiliki luas lautan dan perairan lebih dari 62 persen tentunya sangat berkepentingan atas forum ini,” kata Dina, yang menghadiri pagelaran Cultural Night pada Jum’at (24/5) sebagai agenda pamungkas serangkaian kegiatan WWF di Taman Bhagawan Nusa Dua Bali.
Dina Hidayana, yang juga Ketua Umum IKATANI UNS ini merespon positif pertemuan multilateral tersebut beserta gagasan dan hasil-hasilnya yang diharapkan mengarah pada akselerasi terciptanya kebijakan dan kemajuan tata kelola air yang berkeadilan. Kebutuhan air, baik untuk sektor pangan dan non pangan semakin eksponensial seiring laju manusia dan perubahan gaya hidup, maka perlu diantisipasi disparitas dalam memenuhi ketersediaan dan rasa keadilan di level masyarakat, terutama di negara-negara rawan konflik yang berkategori belum maju, seperti Indonesia, tegas Dina.
Air bersih dibutuhkan bukan hanya untuk air minum, mandi, pangan manusia ataupun pakan hewan, namun juga berbagai keperluan lain untuk eksistensi dan kesinambungan ekosistem. Sektor pertanian bahkan sangat bergantung pada pasokan air. Ironisnya, berdasar data di laman setneg.go.id disebutkan total air tawar dipermukaan bumi hanya sekitar 2,5%, sisanya sebesar 97,5% berupa air salinasi atau air laut.
Parahnya, hanya sepertiga dari ketersediaan air tawar tersebut yang bisa dimanfaatkan secara langsung, lainnya berupa es, salju atau gletser. Artinya, sebuah tantangan dan peluang sekaligus bagi kita untuk mengefektifkan sejumlah kecil air tawar yang bisa langsung dimanfaatkan, sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan air salinasi, termasuk upaya desalinasi untuk mengatasi laju kebutuhan air serta pengembangan sektor pangan dan pertanian, urai Dina, yang juga berprofesi sebagai Dosen di beberapa Kampus.
Dina mengusulkan, dalam konteks Indonesia, pentingnya orkestrasi kebijakan yang menegaskan keterpaduan kementerian/lembaga dalam tata kelola ekosistem dan hilirisasi air bagi sektor pangan dan non pangan. “Hentikan keangkuhan dan egoisme antar institusi yang merugikan bangsa dan generasi masa depan,” tegas Alumnus Doktoral Strategi Pertahanan UNHAN RI ini.
Keberlimpahan air yang masih kita nikmati saat ini jangan sampai membutakan mata dan telinga adanya wilayah atau kawan di tempat lain mengalami kelangkaan, bahkan untuk sekedar minum. Selain itu tanggung jawab moral kita bersama mewariskan kondisi yang lebih baik bagi generasi masa depan. Dunia ini milik bersama, seyogyanya dikelola dan dimanfaatkan secara bersama pula dengan prinsip berkeadilan, maka dengan demikian keberlangsungan sumber daya dan regenerasi manusia dapat lestari.