KABARINDO, GAZA - Warga Gaza melakukan yang terbaik untuk merayakan akhir Ramadhan di tengah hujan deras pada Rabu (10/4/2024), ketika perangberkecamuk dan menewaskan 14 orang, termasuk anak-anak, dalam serangan di rumah mereka.
Militer Israel mengatakan pihaknya menyerang beberapa sasaran pada hari pertama liburan Idul Fitri, dengan sebuah jet menghantam lokasi peluncuran roket dan pasukan membunuh “sel teroris” dalam pertempuran jarak dekat.
Seorang fotografer AFP menyaksikan dampak pemboman terhadap rumah di kamp pengungsi Nuseirat di Gaza tengah. Anggota keluarga memegangi jenazah anak-anak yang meninggal di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di dekat Deir El-Balah. Belum ada komentar langsung dari tentara Israel.
Israel mengatakan 468 truk bantuan, sebuah rekor sejak perang dimulai, diizinkan masuk ke Gaza pada malam hari raya, yang menandai akhir bulan puasa dan secara tradisional dirayakan dengan pertemuan keluarga.
Namun dengan peringatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa wilayah yang terkepung berada di ambang kelaparan, hanya sedikit yang bisa dinikmati oleh 2,4 juta penduduk Gaza, hingga 1,5 juta di antaranya berdesakan di kamp-kamp di sekitar kota Rafah di bagian paling selatan.
Sementara itu, para warga terlihat berkumpul saat fajar di luar Masjid Al-Farooq yang rata dengan tanah. Seroang jamaah bernama Khairi Abu Singer mengeluh bahwa pemboman tanpa henti yang dilakukan Israel bahkan telah menghalangi warga Palestina untuk salat di dalam masjid.
Ayah empat anak, Ahmed Qishta, 33, mengatakan tidak banyak hal yang bisa dirayakan pada saat yang seharusnya menjadi saat yang membahagiakan.
“Kami menyiapkan permen dan biskuit dari bantuan yang kami terima dari PBB, dan sekarang kami berikan kepada anak-anak. Kami mencoba untuk bahagia, tapi itu sulit,” terangnya.
Dia mengatakan mereka datang ke makam anggota keluarga yang tewas dalam perang untuk mendoakan mereka sebelum pergi ke Masjid Ibnu Taymiyyah untuk salat Idul Fitri.
“Belum pernah ada Idul Fitri seperti ini yang penuh dengan kesedihan, ketakutan, kehancuran dan perang yang hebat,”lanjutnya.
Abir Sakik, 40, yang meninggalkan rumahnya di Kota Gaza bersama keluarganya dan sekarang tinggal di tenda di Rafah, mengatakan dia tidak punya bahan untuk membuat kue dan manisan yang biasa dia buat.
Sebaliknya dia membuat kue dari kurma yang dihancurkan. “Kami ingin bersukacita meski terjadi banyak darah, kematian dan penembakan,” katanya.
Sakik mengatakan bahwa meskipun hari itu adalah hari raya keagamaan, namun militer Israel tetap melakukan pembantaian dan membunuh perempuan dan anak-anak di kamp tersebut.
“Kami lelah dan letih, sudah cukup, cukup banyak perang dan kehancuran,” katanya, seraya menambahkan bahwa warga Gaza sangat membutuhkan gencatan senjata.
“Kami berusaha memberikan kegembiraan kepada anak-anak. Sebelumnya, suasana Idul Fitri sangat menyenangkan, dengan mainan anak-anak, kue Idul Fitri, makanan, dan coklat di setiap rumah , semuanya manis dan indah. Tapi mereka menghancurkan seluruh Gaza,” ungkapnya.
Adapun warga Rafah, Moaz Abu Moussa, mengatakan bahwa meskipun ada kesakitan dan pembantaian, namun mereka berusaha akan menunjukkan kebahagiaan dalam keadaan sulit ini.
“Kami tidak peduli dengan perang. Kami akan menjalani Idul Fitri seperti umat Islam lainnya dan menunjukkan kebahagiaan kami kepada para pengungsi dan keluarga para syuhada dan tahanan,” terangnya.
Sementara itu, di Yerusalem, puluhan ribu jamaah memenuhi kompleks Masjid Al-Aqsa, situs tersuci ketiga umat Islam, untuk salat Idul Fitri.
“Ini adalah Idul Fitri yang paling menyedihkan,” kata perawat Rawan Abd, 32, dari Yerusalem timur yang dianeksasi Israel.
“Di masjid, Anda bisa melihat kesedihan di wajah orang-orang,” lanjutnya.
Di Tepi Barat yang diduduki, suasananya bahkan lebih suram. Banyak warga Palestina di kota Jenin di bagian utara mengunjungi pemakamannya untuk berdoa bagi mereka yang telah terbunuh sejak perang Gaza dimulai.
Konflik tersebut meletus dengan serangan lintas batas yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Hamas pada 7 Oktober.
Serangan balasan Israel telah menewaskan sedikitnya 33.360 orang di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan.