Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Hukum & Politik > Harapan Besar dari Penangkapan Noel

Harapan Besar dari Penangkapan Noel

Hukum & Politik | 7 jam yang lalu
Editor : Anton CH

BAGIKAN :
Harapan Besar dari Penangkapan Noel

Oleh Hasyim Arsal Alhabsi

Direktur Dehills Institute

Dalam politik Indonesia, ada jarak yang sering begitu lebar antara kata dan perbuatan. Janji untuk menegakkan hukum kerap menjadi jargon, tapi begitu berhadapan dengan “orang dekat,” hukum mendadak menjadi lentur. Karena itulah penangkapan Emanuel Ebenezer—Noel, seorang “die hard” pembela Jokowi yang belakangan merapat ke Prabowo, bahkan dipercaya masuk dalam kabinetnya—menjadi peristiwa penting.

Sebab Noel tidak hanya sekadar kader pinggiran, ia adalah simbol kedekatan. Namun begitu ditetapkan sebagai tersangka pemerasan, Presiden Prabowo langsung memecatnya dari jabatan komisaris.

Di sinilah letak harapan besar itu: keputusan cepat memecat Noel adalah tanda bahwa pemerintahan Prabowo tidak ingin terjebak dalam pola lama—di mana orang dekat kebal hukum, dan kawan politik menjadi tameng. Pemecatan Noel bukan sekadar tindakan administratif, melainkan simbol bahwa negara ingin menegakkan marwah kekuasaan: tidak ada yang lebih tinggi dari hukum.

Prabowo seakan ingin memberi pesan keras: ia lebih memilih menjaga kredibilitas pemerintahan daripada mempertahankan loyalitas seorang individu, betapapun besar jasanya di masa lalu.


Kita masih mengingat betapa seringnya rezim sebelumnya “melindungi” orang-orang dekat yang bermasalah. Kasus-kasus hukum bisa melambat, bahkan hilang begitu saja, ketika menyentuh lingkar inti kekuasaan. Publik sudah terbiasa kecewa dan sinis.

Dalam konteks itu, Noel menjadi contoh menarik. Bahwa “kedekatan”nya dengan Presiden Prabowo yang diketahui masyarakat dari berbagai podcast dan acara tv yang memberi pembelaan terhadap kebijakan pemerintah tidak otomatis menjadikan ia “kebal” terhadap persoalan hukum.

Harapan untuk Politik yang Bersih

Penangkapan Noel, diikuti pemecatannya, membuka ruang harapan bahwa Prabowo serius menjaga integritas pemerintahannya. Publik tentu menanti konsistensi: apakah langkah ini hanya sekali, atau benar-benar menjadi pola baru. Jika setiap pejabat yang bersalah ditindak tegas, maka pelan-pelan akan lahir kepercayaan bahwa politik bisa bersih.

Harapan itu besar, karena di sinilah ukuran sesungguhnya sebuah pemerintahan: berani berlaku adil kepada orang dekat, sebelum berlaku adil kepada orang jauh.

Noel Sebagai Cermin

Ironisnya, justru Noel—yang pernah dikenal sebagai pembela mati-matian, lalu berbelok, lalu diberi tempat di pemerintahan—yang kini menjadi “cermin.” Ia menunjukkan bahwa kedekatan tidak menjamin keselamatan ketika berhadapan dengan hukum. Dan di sinilah letak pelajaran besar bagi kabinet Prabowo: siapa pun yang tergoda bermain-main dengan kekuasaan demi keuntungan pribadi, harus siap menghadapi konsekuensinya.


Mungkin Noel hanya satu nama di antara ribuan pejabat negara. Tetapi keputusan cepat untuk menindaknya adalah simbol besar. Simbol bahwa era Prabowo bisa berbeda, bahwa politik bisa kembali memiliki marwah, bahwa rakyat bisa kembali menaruh percaya.

Harapan besar itu lahir dari peristiwa sederhana: seorang yang paling keras membela, kini ditindak tanpa ampun. Dari Noel, kita belajar bahwa loyalitas politik tidak boleh mengalahkan loyalitas kepada hukum. Dan di situlah terletak kesempatan emas bagi Prabowo: membangun pemerintahan yang benar-benar kuat, karena berdiri di atas keadilan.
Langkah cepat Prabowo memecat Noel sesaat setelah ditetapkan sebagai tersangka mengingatkan kita pada praktik kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di era SBY, publik menyaksikan bagaimana presiden ke-6 RI itu tidak melindungi orang-orang dekatnya yang bermasalah. Beberapa menteri, pejabat tinggi, bahkan kolega politik dari lingkaran Demokrat harus menghadapi hukum tanpa intervensi.

SBY menegakkan prinsip “Let the law take its course”—biarlah hukum bekerja. Ia membiarkan proses hukum berjalan tanpa kompromi politik, meski menyakitkan secara pribadi dan bisa menggerus elektabilitas partai. Itulah salah satu alasan mengapa SBY dikenang sebagai presiden yang mampu menjaga marwah hukum di tengah godaan besar kekuasaan.

Hari ini, Prabowo mengambil langkah yang senada. Dengan cepat mencopot Noel, seorang yang jelas berada di lingkar kekuasaan, Prabowo menunjukkan bahwa kedekatan pribadi tidak bisa menjadi tameng hukum. Ia memilih membangun kredibilitas pemerintahan daripada menutupi kesalahan seorang loyalis.

Harapan Konsistensi

Jika sikap ini konsisten, Prabowo berpeluang membangun tradisi pemerintahan yang serupa—bahwa negara tidak boleh tunduk pada hubungan pertemanan atau utang politik. Bahwa siapa pun yang salah, meskipun sahabat sendiri, harus tetap diproses sesuai hukum.

Praktik inilah yang akan membuat rakyat kembali percaya: ketika hukum berlaku sama, ketika negara benar-benar menjadi pengayom, bukan pelindung segelintir elite.

Insya Allah, kita tidak perlu terkaget-kaget lagi di hari-hari yang akan datang bila mendengar ada “orang dekat” presiden tertangkap atau bermasalah dengan hukum. Sebagaimana desas desus yang tiap hari kita dengar dalam pembicaraan warung kopi.


TAGS :
RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER