KABARINDO, JOHANNESBURG/WASHINGTON – Keputusan Afrika Selatan dan Amerika Serikat untuk melonggarkan aturan isolasi dan karantina terkait COVID-19 dikecam pengamat kesehatan dan publik masing-masing negara. Afsel memutuskan untuk menarik aturan baru tersebut.
Pekan lalu, kementerian kesehatan Afsel mengatakan bahwa individu yang telah melakukan kontak dengan kasus COVID-19, tapi tidak menunjukkan gejala tidak lagi wajib mengisolasi diri, walau tetap harus memantau gejala selama 5-7 hari dan menghindari menghadiri pertemuan besar.
Peraturan itu juga menyebutkan bahwa orang-orang yang mengalami gejala saja yang perlu diuji, dan mereka yang memiliki gejala ringan harus diisolasi selama delapan hari, sedangkan kasus dengan gejala yang parah selama 10 hari.
Fasilitas karantina di luar rumah juga sedianya akan dihentikan, serta upaya pelacakan kontak juga hendak dibatalkan dalam skenario tertentu seperti wabah cluster.
Departemen Kesehatan Afsel mengeluarkan peraturan baru minggu lalu itu dengan alasan total vaksinasi nasional telah menyediakan kekebalan yang cukup, dan jumlah kasus rawat inap telah menurun drastis.
Kasus di negara itu memang mulai menurun minggu ini, dengan 7.216 kasus baru dan 25 kematian dilaporkan dalam 24 jam terakhir.
Segera setelah revisi awal peraturan itu dirilis, institusi tersebut kebanjiran protes dari media, pemangku kepentingan dan pertanyaan dan komentar publik, sehingga pihak berwenang memutuskan menarik kembali semua protokol baru itu.
"Sejalan dengan prinsip transparansi dan keterbukaan, departemen telah memutuskan untuk menunda implementasi perubahan kebijakan yang direvisi, sambil mempertimbangkan semua komentar dan masukan tambahan yang diterima," kata pejabat kementerian dalam sebuah pernyataan.
"Ini berarti status quo tetap ada, dan semua peraturan yang ada sebelumnya terkait pelacakan kontak, karantina, dan isolasi tetap berlaku," pungkasnya.
(Persebaran kasus Covid-19 di Amerika Serikat --Google)
CDC Amerika Serikat Masih Bergeming
Keputusan pejabat kesehatan AS untuk mempersingkat masa isolasi dan karantina COVID-19 yang direkomendasikan dari 10 hari menjadi lima hari juga menuai kritik dari beberapa ahli medis.
Kecemasan publik juga timbul karena pedoman baru itu memungkinkan orang untuk meninggalkan isolasi tanpa diuji untuk melihat apakah mereka masih menular.
Protokol baru itu dikeluarkan di tengah lonjakan kasus di musim dingin, yang sebagian besar disebabkan varian omicron yang sangat menular.
Diduga, CDC (Centers for Disease Control and Prevention) telah mendapat tekanan dari sektor swasta, termasuk industri penerbangan, untuk mempersingkat waktu isolasi dan mengurangi risiko kekurangan staf yang parah di tengah lonjakan omicron.
Direktur CDC Dr. Rochelle Walensky hari Senin (27/12) mengatakan bahwa kebanyakan kasus tidak menunjukkan gejala sehingga, “Kami ingin memastikan ada mekanisme yang dapat terus menjaga masyarakat tetap berfungsi dengan aman sambil mengikuti [perkembangan] sains.”
Berlawanan dengan keyakinan Walensky, Dr. Eric Topol, pendiri dan direktur Scripps Research Translational Institute, menganggap keputusan itu sangat ceroboh.
“Menggunakan tes cepat atau beberapa jenis tes untuk memvalidasi bahwa orang tersebut tidak menular sangatlah penting,” tambahnya.
Meskipun industri penerbangan A.S. memuji langkah CDC, kepala serikat awak kabin mengkritik perubahan tersebut dengan mengatakan hal itu dapat menyebabkan perusahaan menekan karyawan yang sakit untuk kembali sebelum mereka sehat betul.
Jika itu terjadi, “kami akan menegaskan bahwa lingkungan kerja kami tidak aman, sehingga akan menyebabkan gangguan yang jauh lebih besar daripada sekadar 'kekurangan staf,'” Sara Nelson, presiden Asosiasi Awak Kabin-CWA Internasional, memperingatkan.
Hingga berita ini diturunkan, protokol Covid baru tersebut masih berlaku di negara yang jumlah kasus baru hariannya minggu lalu mencapai 265,427 itu. (Sumber: Reuters, AP; Foto: Sky News)