KABARINDO, NEW YORK - Gelombang pengunjuk rasa pro-Palestina terus berlanjut di Amerika Serikat (AS), yang merupakan sekutu Israel. Demo-demo terjadi di perguruan tinggi.
Melansir VoA Indonesia, Sabtu (27/4/2024), Columbia University di New York pada Kamis (25/4/2024) malam mengurungkan tenggat tengah malam bagi pengunjuk rasa pro-Palestina untuk meninggalkan perkemahan di kampus itu. Sementara itu, semakin banyak kampus perguruan tinggi di AS yang berupaya mencegah pendudukan di halaman kampus mereka.
Polisi melakukan penangkapan besar-besaran di berbagai kampus di AS, sesekali menggunakan bahan kimia penyebab iritasi dan taser untuk membubarkan protes terkait perang Israel dengan Hamas.
Kantor Minouche Shafik, rektor Columbia University di New York, mengeluarkan pernyataan pada pukul 11.07 malam yang menyatakan mundur dari tenggat tengah malam untuk membongkar perkemahan besar dengan sekitar 200 mahasiswa.
“Pembicaraan telah menunjukkan kemajuan dan berlanjut sesuai rencana,” kata pernyataan itu. “Kami punya tuntutan, mereka juga punya tuntutan.”
Pernyataan itu membantah polisi Kota New York diundang ke kampus tersebut. “Rumor ini tidak benar,” kata pernyataan tersebut.
Seorang mahasiswa, yang mengidentifikasi diri sebagai Mimi, mengatakan kepada kantor berita AFP, ia telah berada di kamp itu selama tujuh hari.
“Mereka menyebut kami teroris, mereka menyebut kami kasar. Tetapi satu-satunya perangkat yang sebenarnya kami punya adalah suara kami,” katanya.
Para mahasiswa pengunjuk rasa mengatakan mereka menyatakan solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza. Korban tewas telah mencapai 34.305 orang, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas.
Sementara itu, mahasiswa Indonesia ikut berdemo di kampus Columbia University, New York. Ratusan demonstran mendirikan tenda dan menuntut pihak kampus memutuskan hubungan finansial dan akademis dengan Israel.
Setidaknya 100 pendemo di Columbia University ditahan oleh pihak kepolisian NY, dan rektor kampus tersebut diminta mundur oleh ketua DPR AS jika tidak bisa menertibkan mahasiswanya.
Sejumlah mahasiswa telah diskors oleh kampus tersebut. Namun, mahasiswa Indonesia Ardhi Rasy Wardhana mengaku tidak takut karena ia paham akan hak dan kewajibannya.
“Takut bukan alasan untuk tidak berpartisipasi atau berpartisipasi lebih karena sebenarnya ini panggilan. Kita masyarakat Indonesia, kita sudah punya sikap sebagai negara juga, kita punya sejarah panjang, masa kita enggak ikut bersolidaritas sama teman-teman di sini,” kata Ardhi kepada Voa.
Demonstrasi pro-Palestina juga terjadi di kampus-kampus ternama lain di seluruh Amerika Serikat, termasuk di University of Texas at Austin dan University of Southern California.
Lebih dari 200 orang yang memprotes perang ditangkap pada Rabu dan Kamis dini hari di berbagai universitas di Los Angeles, Boston dan Austin, Texas. Sekitar 2.000 orang berkumpul kembali hari Kamis.
Polisi antihuru-hara di negara bagian Georgia menggunakan bahan kimia penyebab iritasi dan taser untuk membubarkan protes di Emory University, Atlanta.
Berbagai foto menunjukkan polisi menggunakan taser sewaktu mereka bergulat dengan pengunjuk rasa di halaman rumput yang terawat rapi.
Departemen Polisi Atlanta mengatakan para petugas yang menanggapi permintaan bantuan dari universitas “dihadapkan pada kekerasan” dan menggunakan “bahan kimia penyebab iritasi” untuk menanggapinya.
Protes yang menyebar itu bermula di Columbia University, yang masih menjadi pusat gerakan protes mahasiswa.
Kebebasan berbicara
Protes tersebut menjadi tantangan besar bagi pengelola universitas yang berusaha menyeimbangkan komitmen kampus terhadap kebebasan berekspresi dengan keluhan bahwa unjuk rasa itu telah melewati batas.
Para pendukung pro-Israel dan lainnya yang khawatir mengenai keselamatan kampus menunjuk pada berbagai insiden anti-Semitisme dan menuduh bahwa kampus mendorong intimidasi dan ujaran kebencian.
“Saya tidak pernah merasa setakut ini sebagai Yahudi di Amerika seperti sekarang,” kata Skyler Sieradsky, mahasiswa filsafat dan ilmu politik berusia 21 tahun di George Washington University.
“Ada mahasiswa dan dosen yang mendukung pesan-pesan kebencian, dan mendukung pesan yang menyerukan kekerasan.”
Para pengunjuk rasa, yang mencakup sejumlah mahasiswa Yahudi, telah menolak anti-Semistisme dan mengkritik para pejabat yang menyamakan itu dengan tentangan terhadap Israel.
“Orang-orang di sini yang mendukung rakyat Palestina berasal dari berbagai latar belakang .. (didorong oleh) perasaan keadilan mereka secara umum,” kata Josh (33) kepada AFP, mahasiswa pascasarjana berusia 33 tahun di University of Texas, Austin. Ia mengaku sebagai seorang Yahudi.