MINYAK JELANTAH : Salah satu warga Jakarta Selatan menukarkan minyak jelantah dengan saldo rupiah di SPBU Pertamina Gandaria. Pertamina melakukan inovasi dengan mengubah minyak jelantah menjadi bahan bakar pesawat. (FOTO : ANTON C/KABARINDO.COM)
JAKARTA – Hari sudah menjelang sore, awan pekat menaungi Jakarta Rabu (29/10) kemarin. Tak lama berselang, setelah adzan Ashar berkumandang, langit menumpahkan airnya ke bumi. Lalu lintas di jalan Jl. Gandaria I, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sontak padat merayap.
Puluhan pengendara motor tampak berebut berteduh di SPBU Pertamina 31.12104. Widyawati (51) tampak terburu-buru membelah kerumunan para pengendara motor. Bukan untuk ikut berteduh, Widya, begitu dia meminta disapa, akan menuju UCOllect Box untuk menukar minyak jelantah dengan saldo rupiah. Membawa botol air mineral berukuran 1,5 liter, Widya terlihat membawa sisa minyak goreng alias jelantah.
“Saya sudah sering menukar minyak jelantah dari rumah di SPBU ini,”ungkap warga Jl Jatayu, Kebayoran Lama, itu. Lokasi SPBU Pertamina tersebut, tak jauh dari rumahnya, hanya berjarak dua kilometer.
Sore itu, Widya hanya membawa satu botol saja, karena dua hari sebelumnya dia sudah menukar minyak jelantah di SPBU yang sama. Tangannya terlihat cekatan mengarahkan telepon pintarnya ke QR Code yang ada di UCOllect Box. Kurang dari satu menit, layar box menginstruksikan agar Widya menuangkan minyak jelantahnya.
Menurut Widya, proses penukaran minyak jelantah menjadi saldo rupiah di aplikasi MyPertamina cukup mudah. “Tinggal scan, tuangkan minyak, selesai. Dan saldo bisa dilihat di aplikasi MyPertamina,”ungkapnya.
Ibu satu orang anak ini berkisah, sebelum ada program penukaran minyak jelantah di Pertamina, minyak jelantah sisa memasak kerap dibuang. “Kadang saya buang atau diminta tetangga,”ujarnya. Namun, berkat informasi yang diterimanya mengenai kegunaan minyak jelantah, salah satunya untuk bahan bakar pesawat, Widya berinisiatif untuk ikut berpartisipasi. “Saya baca di berita, minyak jelantah bisa jadi bahan bakar ramah lingkunga. Jadi, daripada dibuang, lebih baik untuk bahan bakar pesawat terbang,”imbuhnya.
Satu liter minyak jelantah yang disetorkan melalui UCOllect Box dikonversi senilai Rp6.000. “Hari ini saya dapat Rp8.000, dua hari lalu Rp17 ribu,”katanya. Bagi Widya, minyak jelantah yang selama ini dia buang ternyata menghadirkan berkah.
Dia pun tak menyangka, Pertamina akan mengolahnya menjadi bahan bakar pesawat menggantikan avtur. “Ya takjub, minyak jelantah bisa jadi bahan bakar pesawat,”ungkapnya.
Dia menambahkan, banyak warga di sekitar rumahnya yang kini seolah berlomba menukar minyak jelantah dengan saldo rupiah. Termasuk pedagang gorengan dan pedagang makanan warteg. “Yang tidak memiliki aplikasi MyPertamina kadang titip. Dua atau tiga hari sekali lah saya menukarkan jelantah ke SPBU ini,’imbuhnya. Widya pun mengapresiasi langkah Pertamina yang melakukan inovasi, sehingga minyak bekas yang dulunya tak berguna, kini memiliki nilai tinggi. “Bagi kami ibu rumah tangga, tentu membantu uang belanja. Harapan saya sih agar lokasi box nya ditambah lebih banyak lagi, sehingga lebih dekat ke masyarakat,”katanya.
UCOllect Box di SPBU Pertamina Gandaria itu hanyalah satu dari ratusan box yang disediakan Pertamina di Jakarta. Selain di SPBU, Pertamina juga menyediakan UCollect Box di gerai ritel modern, bank sampah, kantor Pertamina hingga rumah sakit.
“Ada dua tipe box, satu berkapasitas 1.000 liter, satu lagi 500 liter,”kata Eko, petugas pembersih UCOllect Box saat ditemui di SPBU Gandaria. Menurut Eko, minyak jelantah yang disetorkan masyarakat akan diangkut dua kali dalam sepekan. Bahkan bisa lebih cepat jika UCollect Box sudah penuh. “Untuk minyak jelantahnya sendiri dikirim ke Marunda, Jakarta Utara,”katanya.
Eko mengungkapkan, proses pembersihan UCOllect Box dilakukan secara berkala untuk menghilangkan ampas yang tersangkut di penyaring minyak jelantah di dalam box. “Sehingga yang masuk ke dalam tanki box hanya minyaknya saja,”katanya.
Eko pun mengaku, bersama timnya, setiap hari berkeliling Jakarta untuk membersihkan dan mengangkut jelantah dari UCollect Box. “Minyak jelantah ini kan nantinya diolah lagi menjadi bahan bakar pesawat,”tutupnya.
Ya, PT Pertamina (Persero) melakukan inovasi dengan mengembangkan Sustainable Aviation Fuel (SAF) dalam rangka swasembada energi dan mendukung upaya menekan emisi. Langkah ini sekaligus menandai ikhtiar Pertamina demi menjadikan Indonesia sebagai pusat pasokan bahan bakar penerbangan berkelanjutan di Asia Tenggara.
Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero) Agung Wicaksono, saat menjadi pembicara dalam ajang 15th International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) Regional Stakeholder Meeting Southeast Asia yang berlangsung di Jakarta, Kamis, (23/10) mengungkapkan, peluang pengembangan SAF ini berawal dari visi Presiden Prabowo Subianto, yang tertuang dalam Asta Cita.
Dia menambahkan, Pengembangan SAF tak sekadar langkah bisnis, melainkan wujud kontribusi Pertamina terhadap visi nasional menuju ekonomi hijau dan swasembada energi.
Indonesia memiliki posisi strategis dalam pengembangan SAF karena potensi sumber bahan bakunya sangat besar, terutama dari minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO). Pertamina juga telah membangun ekosistem terintegrasi dalam pengembangan SAF, dimulai dari pengumpulan UCO hingga proses pengolahan dan penggunaannya untuk pesawat terbang.
Pertamina pun mengorkestrasi unit usahanya. Subholding PT Kilang Pertamina International (KPI) misalnya, mendapat tugas menyediakan fasilitas co-processing untuk mengubah minyak jelantah menjadi SAF. Sedangkan PT Pertamina Patra Niaga berperan dalam distribusi bahan bakar dan PT Pelita Air Service sebagai maskapai penerbangan, berperan sebagai pengguna.
“Dengan demikian, kami memiliki rantai ekosistem lengkap. Mulai dari pengumpulan minyak jelantah hingga produksi SAF, lalu penggunaannya dalam penerbangan,” paparnya.
Pertamina, lanjut Agung, terus berupaya memperluas kapasitas produksi SAF melalui dua kilang utama, yakni Kilang Cilacap dan Kilang Plaju. SAF sendiri, mampu mengurangi hingga 84 persen emisi karbon. “Keberhasilan pengembangan SAF merupakan bukti nyata ekonomi sirkular dapat berjalan di Indonesia dan Asia Tenggara,”katanya.
Langkah Monumental Transisi Energi
Pertamina, melalui PT Kilang Pertamina Internasional telah mencatat sejarah sebagai pionir dalam produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) dari minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) di Asia Tenggara. Ini merupakan langkah monumental bagi transisi energi Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia bisa menjadi benchmark bagi negara lain dalam pengembangan energi hijau menuju penerapan nol emisi. Pjs Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional Milla Suciyani kepada Kabarindo,com mengatakan, KPI memproduksi PertaminaSAF melalui unit Treated Distillate Hydro Treating (TDHT) Kilang Cilacap dengan metode co-processing. Unit TDHT ini telah mendapatkan sertifikasi ISCC EU & CORSIA. Selanjutnya, KPI juga berencana untuk melakukan replikasi proses produksi PertaminaSAF di Kilang Balongan dan Kilang Dumai.
Kapasitas produksi PertaminaSAF yang dihasilkan dari Kilang Cilacap mencapai sekitar 9 ribu barel per hari. Jika dengan campuran minyak jelantah mencapai 2,5 % - 3 % maka akan diperlukan minyak jelantah sekitar 13 ribu KL per tahunnya. “Produksi PertaminaSAF ini tentunya akan bergantung pada aspek suplai permintaan dan keekonomian market,”ungkapnya.
Produksi PertaminaSAF, lanjut Milla, mempertimbangkan Peta Jalan Pengembangan Industri Sustainable Aviation Fuel (SAF) Indonesia. Untuk kecukupan minyak jelantah sebagai feedstock SAF di masa mendatang. Pertamina dan KPI aktif melakukan edukasi pengumpulan minyak jelantah serta berkolaborasi dengan pelaku ekonomi pengepul minyak jelantah agar angka pengumpulan minyak jelantah meningkat.
Terkait blending rate, lanjut dia, akan tergantung dari beberapa faktor antara lain mandat pemerintah dan permintaan dari market/customer. Sedangkan penggunaan Katalis Merah Putih, Milla menilai, hal itu merupakan langkah yang sangat penting dalam proses produksi PertaminaSAF. Katalis yang digunakan merupakan hasil karya anak bangsa sendiri yang merupakan hasil riset Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB). “Katalis Merah Putih ini diproduksi di dalam negeri oleh PT Katalis Sinergi Indonesia (PT KSI),”sebutnya.
Saat ini, Pertamina Group mendorong pengembangan SAF di Indonesia dengan membangun ekosistem bersama dimulai dari pengumpulan minyak jelantah hingga proses pengolahan dan penggunaannya untuk pesawat terbang.
“KPI juga berperan dalam mendorong pengumpulan minyak jelantah melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Salah satunya melalui program TJSL Kilang Cilacap, pengumpulan Jelantah melalui kelompok Bank Sampah Beo Asri di Cilacap,”imbuhnya.
Pengembangan pemakaian PertaminaSAF tentu memerlukan dukungan dari semua pihak. Selain harus ada kebutuhan pasar, perlu ada regulasi yang mengaturnya. KPI terus berkomitmen memenuhi kebutuhan pasar dan langkah di masa depan yang dilakukan adalah pengembangan Grass Root Green Refinery (Kilang Baru untuk Produksi SAF) di Cilacap dan Plaju.
Sementara itu, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Operasi Balongan, atau Kilang Balongan, terus bersiap mereplikasi teknologi pengolahan Sustainable Aviation Fuel (SAF). General Manager Kilang Balongan, Yulianto Triwibowo mengatakan, hingga kini persiapan produksi PertaminaSAF di kilangnya sudah masuk pada tahap melakukan Study Detail Engineering. Ini merupakan tahap lanjutan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek, dan merupakan fase krusial yang mendetailkan semua aspek teknis.
Sementara untuk proses konstruksi, Yulianto mengatakan, hal itu akan dimulai pada awal 2026.“Target kami, bulan Januari 2026 kita sudah mulai membangun konstruksi untuk proyek SAF di Kilang Balongan,” ujar Yulianto. Setelah konstruksi, fase selanjutnya adalah uji coba produk PertaminaSAF. Yulianto mengatakan, fasi ini akan mulai dilakukan pada bulan Maret atau April 2026. Menurutnya, produksi avtur dengan campuran minyak jelantah akan dilakukan pada unit Kero HTU, dengan kapasitasnya mencapai 15 ribu barel per hari. Sementara untuk kapasitas di Kilang Balongan bisa mencapai 10 ribu barel per hari.
Lebih lanjut Yulianto mengungkapkan, hingga kini sejumlah infrastruktur untuk mendukung uji coba produksi PertaminaSAF di Kilang Balongan sudah siap, termasuk pendanaan yang diambil dari biaya operasional. Ia optimis, target dalam perisiapan ini bisa terlaksana tepat waktu. “Semua sudah siap, nanti kita beli vesselnya yang sudah jadi, tinggal ditaruh, lalu teman-teman nanti akan penyiapkan pondasinya untuk pemasangan pipa,” pungkasnya.
Pada 12 Agustus 2025 lalu, KPI melakukan lifting perdana 32 kilo liter PertaminaSAF dari Kilang Cilacap menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta, di Tangerang, Banten. Pada 20 Agustus 2025, dilakukan penerbangan komersial perdana maskapai Pelita Air, menggunakan PertaminaSAF dengan rute Jakarta-Denpasar.
Dalam kesempatan itu, Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman mengatakan, penerbangan tersebut bukan sekadar perjalanan udara biasa. Namun juga menjadi catatan sejarah baru dalam transisi energi di Indonesia.
“PertaminaSAF adalah sebuah langkah besar dalam dunia aviasi di Indonesia. Penerbangan spesial ini sekaligus menjadi bukti kalau KPI bisa menjadi pelopor energi hijau di Indonesia. Produk ini membuktikan bahwa kita memiliki kapabilitas dalam memproduksi produk bahan bakar pesawat masa depan,” ungkapTaufik.
Menurut Taufik, kualitas PertaminaSAF tidak kalah jika dibandingkan dengan produk serupa yang digunakan di negara lain. "PertaminaSAF adalah bioavtur sustainable pertama yang memiliki sertifikat internasional sustainability ISCC CORSIA berbahan baku campuran UCO atau minyak jelantah yang diproduksi di Indonesia," kata Taufik.
Keunggulan lain, titik beku (freezing point) PertaminaSAF melampaui standar internasional. Taufik mengatakan, menurut standar internasional, spesifikasi titik beku avtur pada ketinggian yang jelajah pesawat komersial yakni minus 47 derajat celcius. Sementara di ketinggian yang sama, titik beku PertaminaSAF, bisa lebih rendah dari spesifikasi tersebut.
“PertaminaSAF tidak akan membeku di kondisi ekstrem, sehingga aman digunakan selama penerbangan. Aspek keselamatan yang sesuai bahkan melebihi standar internasional menjadikan produk ini memiliki nilai tambah yang semakin tinggi,” tutur Taufik.
Sinergi dan Kolaborasi Lintas Sektor
Untuk menjaga keberlanjutan dan keekonomian, Pertamina membutuhkan kolanorasi dengan banyak pihak, juga lintas sektoral, termasuk dengan industri lainnya seperti hotel dan restoran. Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran kepada Kabarindo.com mengaku siap menjadi mitra strategis Pertamina. “Kami siap memasok minyak jelantah dari anggota kami di seluruh Indonesia,”tegasnya.
Yusran meyakini, dengan dukungan regulasi dari pemerintah, ada kepastian pasokan dari hotel dan restoran di seluruh Indonesia. “Yang penting regulasinya jelas, minyak jelantah dari kami akan diangkut oleh siapa. Serta bagaimana regulasinya termasuk terkait masalah lingkungan,”sebutnya.
Sedangkan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional atau Indonesia National Air Carrier Association (INACA) menilai, kolaborasi antara pelaku industri penerbangan dan Pertamina merupakan langkah strategis menuju penerbangan rendah emisi.
Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja mengatakan, Indonesia telah menghadirkan Sustainable Aviation Fuel (SAF) melalui Pertamina. Inisiatif ini sejalan dengan dorongan International Civil Aviation Organization (ICAO) melalui CORSIA (Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation) agar Indonesia bertransformasi dari penggunaan bahan bakar fosil menuju bahan bakar penerbangan berkelanjutan secara voluntary pada tahun 2026 dan mandatory mulai tahun 2027. Karenanya, INACA mengajak seluruh stakeholder untuk berkolaborasi dalam menghadirkan energi ramah lingkungan di industri penerbangan itu.
Di industri penerbangan dunia, beberapa maskapai internasional sudah melakukan ujicoba penggunaan SAF. Diantaranya KLM Royal Dutch Airline, British Airways, Virgin Atlantic, dan Cathay Pacific. Country Manager Indonesia Cathay Pacific Airways Tony Sham mengatakan, Cathay Pacific menargetkan 10% pemakaian SAF pada 2030, sementara pada tahun 2024 saja Cathay Pacific telah menggunakan 6.884 kilo liter SAF. “Indonesia berpotensi menjadi pemasok strategis SAF berbasis minyak jelantah bila tantangan ketersediaan dan harga dapat diatasi melalui kolaborasi lintas pelaku,” jelasnya.
Sedangkan Caretaker Corporate Sustainability Group Head Garuda Indonesia Heri Martanto mengatakan, Garuda Indonesia telah menggunakan SAF pada penerbangan internasional rute Amsterdam–Jakarta.
“Hasil uji menunjukkan performa mesin pesawat tetap stabil dan aman. Tidak ada implikasi teknis yang mengganggu operasional, bahkan SAF memberikan kontribusi nyata dalam penurunan emisi karbon hingga 80%,” ungkapnya.
Heri menambahkan, Garuda Indonesia akan terus berpartisipasi aktif dalam mendukung penggunaan SAF di berbagai rute penerbangan. “Kami menargetkan pada tahun 2027 Garuda Indonesia juga sudah menggunakan SAF tidak hanya pada bandara internasional namun juga pada penerbangan dari bandara di Indonesia, sesuai target SAF Roadmap Indonesia, dan pada tahun 2030 terus dilakukan peningkatan penggunaan SAF sesuai target yang ditetapkan oleh ICAO secara global,” ujarnya.
Pengamat penerbangan dari Dehills Institute Hasyim Arsal Alhabsi menilai, penggunaan SAF, selain ramah lingkungan dan mereduksi emisi, akan menguntungkan secara ekonomi. “Di masa depan tentu harga tiket pesawat jauh lebih murah karena SAF diproduksi dari bahan baku yang tak sekadar ramah lingkungan, tetapi juga murah,”katanya.
Mantan eksekutif di maskapai Lion Air ini mengatakan, dengan murahnya tiket pesawat, maka mobilitas masyarakat akan semakin luas. Tak hanya itu, biaya logistik melalui angkutan udara pun bisa ditekan. “Tentu akan baik bagi perekonomian nasional. Terlebih presiden Prabowo mematok target pertumbuhan ekonomi delapan persen,”katanya.
Dalam peta jalan atau roadmap SAF, pemerintah berencana untuk menerapkan kewajiban SAF 1% pada 2027 dan mencapai 50% pada 2060 mendatang. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan saat ini memperkuat kebijakan untuk mempercepat penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) guna menerapkan dekarbonisasi industri aviasi nasional.
Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Sokhib Al Rokhman , mengatakan langkah percepatan kebijakan penggunaan SAF dilakukan melalui penguatan peta jalan, mekanisme pemantauan dan pelaporan emisi, serta penerapan skema Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) yang sesuai standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
“Roadmap SAF, mekanisme MRV oleh operator, serta regulasi penerapan skema CORSIA telah disiapkan. Dengan sertifikasi sesuai ketentuan Ditjen Migas dan ICAO CORSIA, serta insentif yang proporsional, adopsi SAF di dalam negeri dapat dipercepat,” kata Sokhib.
Sokhib mengatakan, Kemenhub berkomitmen memastikan seluruh kebijakan dekarbonisasi sektor penerbangan nasional berjalan sejalan dengan target penurunan emisi nasional dan standar global. Penggunaan SAF, kata dia, menjadi langkah strategis untuk menekan emisi karbon tanpa mengganggu operasional penerbangan yang sudah ada.
Sedangkan Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menyampaikan bahwa pengembangan SAF merupakan langkah nyata dalam roadmap transisi energi nasional menuju Net Zero Emission 2060. “Saat ini juga sedang disusun regulasi penahapan implementasi SAF, yang diusulkan dapat dimulai tahun 2026 dengan tahap awal implementasi sebesar 1% mengacu pada mekanisme mass balance melalui sertifikasi rantai suplai untuk penerbangan internasional dari Jakarta dan Denpasar,” ujar Edi.
Memenuhi Spesifikasi Pabrikan Pesawat
Produksi SAF yang dilakukan Pertamina telah memenuhi spesifikasi pesawat yang diproduksi Boeing dan Airbus. Airbus melalui Airbus Indonesia menyatakan dukungannya terhadap upaya Pertamina dalam mempercepat pengembangan SAF di Tanah Air. Senior Manager Business Growth Airbus Indonesia, Ridlo Akbar menegaskan, saat ini, SAF merupakan solusi paling realistis untuk mendukung dekarbonisasi industri aviasi.
“Sebagai drop-in fuel, SAF dapat digunakan langsung tanpa perlu modifikasi pesawat atau infrastruktur bandara. Secara teknis, SAF mampu menurunkan emisi karbon hingga 80% dibandingkan bahan bakar fosil, menjadikannya langkah signifikan menuju penerbangan rendah emisi,” jelas Ridlo.
Dia menambahkan bahwa seluruh pesawat Airbus mampu terbang dengan penggunaan SAF hingga 50% campuran dan menargetkan mampu terbang menggunakan 100% SAF pada tahun 2030. “Kami percaya dengan kolaborasi erat antara produsen bahan bakar, produsen pesawat, regulator dan pembuat kebijakan, serta operator maskapai, SAF dapat menjadi standar baru penerbangan global,” ujarnya.
Sedangkan senior managing director of Global Strategic Initiatives for Boeing Commercial Airplanes Malcom An mengatakan, upaya dekarbonisasi di sektor penerbangan membutuhkan pendekatan yang melibatkan seluruh industri.
“Boeing berupaya mewujudkan penerbangan yang lebih berkelanjutan melalui pesawat yang lebih baru dan efisien, energi yang lebih bersih, serta teknologi canggih. Di kawasan Asia Tenggara, minat untuk mengubah minyak jelantah dan limbah pertanian menjadi bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) terus meningkat,” ujarnya.
SVP Business Development PT Pertamina (Persero), Wisnu Medan Santoso mengatakan, pengembangan SAF telah menjadi bagian dari strategi jangka panjang Pertamina untuk memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mendukung dekarbonisasi sektor aviasi.
“Kami memandang SAF bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi solusi strategis untuk menggerakkan ekonomi sirkular. Indonesia memiliki potensi besar dari limbah minyak jelantah, dan Pertamina berkomitmen untuk memanfaatkannya menjadi energi bersih bernilai tinggi,” ujar Wisnu.
Pertamina telah melakukan penelitian dan pengembangan SAF selama lebih dari satu dekade, mulai dari konversi bahan baku, proses penyulingan, hingga sertifikasi kualitas produk. “SAF Pertamina telah memenuhi standar internasional yang menjadi acuan dalam industri penerbangan global,”tutupnya.
UCOllect Box di SPBU Pertamina Gandaria, Jakarta Selatan menjadi salah satu lokasi pengumpulan minyak jelantah yang ditukar menjadi saldo rupiah di aplikasi MyPertamina. (FOTO/ANTON CH/KABARINDO.COM)
 
          
 
             
               
               
              

 
         
             
             
             
            

