Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Ekonomi & Bisnis > Burden Sharing Sampai 2022 Bahayakan Ekonomi dan Picu Resesi lebih Dalam.

Burden Sharing Sampai 2022 Bahayakan Ekonomi dan Picu Resesi lebih Dalam.

Ekonomi & Bisnis | Kamis, 10 September 2020 | 14:20 WIB
Editor : Sebastian Renaldi

BAGIKAN :
Burden Sharing Sampai 2022 Bahayakan Ekonomi dan Picu Resesi lebih Dalam.

Skema burden sharing BI-Pemerintah yang diperpanjang sampai 2022, mengabaikan pernyataan sebelumnya tentang one off policy hanya satu tahun yaitu 2020. Persoalan kredibilitas memuat kembali tentang komitmen penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi sekaligus.

Menteri Keuangan membuat kejutan pada Jumat pekan lalu. Dalam video conference Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pembagian beban alias burden sharing antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) akan diperpanjang hingga 2022. Padahal saat skema burden sharing BI diketahui publik bersifat one off policy yaitu hanya sampai pada 2020 atau 1 tahun saja.

Alasan pemerintah memperpanjang skema burden sharing adalah karena pemerintah membutuhkan pembiayaan yang pasti dari BI seiring pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di atas 3 persen yang telah ditentukan hingga tiga tahun ke depan (2020-2022). 

Pemerintah menjelaskan bahwa skema burden sharing diperpanjang sampai 2022 sesuai dengan UU Nomor 2 tahun 2020 yang akan terus dilaksanakan sampai 2022.

Masalah Debt Monetization dan Fiskal yang Pruden

Kebijakan skema burden sharing yang berlangsung lama akan menjadi kebijakan yang dikenal sebagai debt monetization. Debt Monetization oleh bank sentral di masa lalu menjadi polemik karena telah menjadikan kebijakan fiskal pemerintah menjadi tidak prudent.

Ancaman dari debt monetization tersebut adalah inflasi dan nilai tukar yang tidak terkendali. Hal tersebut dapat menciptakan efek bola salju yang mengkhawatirkan bagi perekonomian.

Para investor melihat monetisasi utang Pemerintah melalui Bank Indonesia merupakan tindakan yang beresiko tinggi karena dapat menyebabkan sudden shock terhadap arus modal dan pelemahan nilai tukar. Investor asing melihat bahwa pembelian SBN rupiah oleh BI akan menyebabkan minat mereka menjadi berkurang.

Adalah moral hazard akan terjadi dalam pembiayaan defisit APBN dimana belanja negara menjadi tidak efektif dan juga dapat menyebabkan independensi BI teramputasi. Skeme burden sahring yang berkepanjangan akan menyebabkan penurunan sovereign credit, kehilangan kepercayaan investor dan memicu pelemahan nilai tukar rupiah.

Secara histori, saat BI dimandatkan membeli SBN dipasar primer pada Juni lalu, Data transaksi aliran modal menunjukkan dari 29 Juni 2020 sd 3 Juli 2020, terjadi aliran modal keluar (outflows) sebesar Rp 8,39 Triliun, terdiri dari outflows SBN Rp 6,80 Triliun dan saham Rp 1,59 Triliun. 

Sementara data settlement, total outflows sebesar Rp 4,41 Triliun, terdiri dari outflows SBN Rp 2,38 Triliun dan saham Rp 2,02 Triliun. Keluarnya aliran modal tersebut mendorong kepada pelemahan rupiah sekitar 1,8% selama Juli 2020 (mtd). Selama tahun 2020, Rupiah melemah sekitar 3,6% (ytd).


Inflasi Tidak Terkendali

Berdasarkan simulasi diperoleh bahwa Pembelian SBN oleh BI untuk Public Goods sebesar Rp 397,6 Triliun pada tahun 2020 meningkatkan inflasi pada tahun 2021 sekitar 4,88 persen hingga 6,69 persen. 

Pembelian SBN oleh BI untuk Public Goods, UMKM, dan Korporasi sebesar Rp 574,6 Triliun pada tahun 2020 meningkatkan inflasi tahun 2021 sekitar 5,26 persen hingga 8,15 persen. Kenaikan inflasi masih berlanjut pada tahun 2022 menjadi sekitar 3,26 persen hingga 4,13 persen. 

Untuk informasi inflasi tahun 2020 diprediksi sekitar 2.49 persen tanpa pembelian SBN oleh BI. Bila memperhitungkan pembelian SBN oleh BI, inflasi tahun 2020 menjadi 3.35-3.65 persen.

Inflasi 2022 dapat mencapai 8.15 persen dengan asumsi skema burden sharing BI-Pemerintah hanya terjadi satu tahun, 2020 saja. Namun Inflasi 2022 dapat mencapai 9,38-10.38% bila skema burden sharing BI-Pemerintah diperpanjang sampai 2022. Bahkan dampak inflasinya masih terdampak sampai 2024 dengan penambahan inflasi sekitar 3.29 persen.

Dengan demikian, “Burden Sharing” sebagai permasalahan kompleks dan serius. Tidak hanya menyangkut “pembagian beban” atas bunga utang Pemerintah. Tapi berdampak negatif pada kredibilitas kebijakan fiskal dan moneter yang selama ini telah diakui dan diapresiasi. Juga menyangkut “beban politik” antara pemerintah sekarang dan mendatang.

Jelas sekali, bahwa Burden Sharing yang diperpanjang sampai 2020 akan berdampak negatif terhadap inflasi, nilai tukar, yield SBN, dan konfiden investor. Dampaknya dapat menyebabkan stabilitas makro akan terguncang dan akhirnya akan menyebabkan resesi yang lebib dalam. 

Oleh karena itu atas nama kepentingan nasional, Otoritas keuangan perlu mitigasi risiko resesi dan risiko defisit neraca keuangan baik dari sisi kebijakan moneter (“exit strategy”) maupun dari sisi kebijakan fiskal.

Oleh Achmad Nur Hidayat MPP
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute


TAGS :
RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER