Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

-advertising-

Beranda > Berita Utama > Bayu Widyatmoko, 20 Tahun Mengabdi untuk Pendidikan Anak-anak Papua

Bayu Widyatmoko, 20 Tahun Mengabdi untuk Pendidikan Anak-anak Papua

Berita Utama | Sabtu, 25 November 2023 | 17:03 WIB
Editor : Natalia Trijaji

BAGIKAN :
Bayu Widyatmoko, 20 Tahun Mengabdi untuk Pendidikan Anak-anak Papua

Bayu Widyatmoko, 20 Tahun Mengabdi untuk Pendidikan Anak-anak Papua

Surabaya, Kabarindo- Setiap anak berhak mendapatkan akses pendidikan dan teknologi untuk menggapai masa depan cerah. Gagasan ini dijunjung tinggi Bayu Widyatmoko, guru yang mengabdikan dirinya sejak 2003 di Papua.

Setelah menamatkan pendidikan S1 di Universitas Negeri Malang pada 2002, Bayu merantau ke Papua untuk mengajar di Sekolah Yayasan Pendidikan Jayawijaya (YPJ). Sekolah ini didirikan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 1973 untuk menyediakan pendidikan inklusif bagi putra-putri karyawan perusahaan dan anak-anak asli Papua dari desa-desa di sekitar wilayah operasional perusahaan. Menyediakan pendidikan mulai dari PAUD, SD hingga SMP, Sekolah YPJ saat ini memiliki 1.150 siswa, 148 guru dan tenaga kependidikan, tiga tenaga ahli teknis serta telah meluluskan sekitar 6.700 siswa.

Bayu yang telah menjadi Kepala Sekolah YPJ Tembagapura, menanamkan pendidikan inklusif untuk mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi intelektual, sosial dan kondisi lainnya. Mengajar anak-anak asli Papua dari desa-desa sekitar yang bersekolah di YPJ memiliki tantangan tersendiri, agar mereka mampu berkompetisi dengan anak-anak karyawan yang memiliki latar belakang keluarga dan lingkungan jauh lebih memadai.

“Ketika saya memutuskan merantau di Papua, saya melihat semangat belajar anak-anak di Papua tidak kalah besar dengan anak-anak di pulau Jawa. Dengan latar belakang yang beragam, saya terpacu untuk memaksimalkan potensi mereka,” ungkap Bayu pada Sabtu (25/11/2023).

Ia menceritakan pengalamannya ketika mengajarkan perbedaan antara paruh burung dan mulut mamalia karnivora dan herbivora. Seorang siswa bertanya, “Apakah Pak Bayu tahu bahwa kuskus suka makan yang manis-manis?”. Lalu siswa tersebut bercerita bahwa ia pernah memberi makan kuskus dan mengetahui bahwa kuskus suka makan cookies.

“Pengalaman tersebut menggugah kesadaran saya bahwa apa yang tercantum di buku teks sering tidak kontekstual, bahkan bisa mengerdilkan pengalaman nyata anak. Dari situ saya belajar bahwa saya sebagai pengajar perlu mempertimbangkan konteks lokal dari keseharian di lingkungan mereka yang menjadi ketertarikan siswa dan dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar,” tuturnya.

Hal tersebut membawa Bayu dan timnya untuk mentransformasikan kurikulum yang tepat bagi para siswa. YPJ kemudian mengadopsi kurikulum yang lebih fleksibel dengan menyesuaikan konteks dan muatan lokal, serta fokus pada siswa dengan pendekatan student-centered.

“YPJ kini menerapkan International Baccalaureate Organization (IBO) sebagai kerangka belajar yang kami nilai paling cocok, karena dapat mengakomodasi kebutuhan dan potensi unik para siswa,” kata Bayu.

Latar belakang budaya para siswa yang beragam menjadi tantangan tersendiri. Nilai-nilai budaya yang dibawa siswa dapat saja berbeda dengan nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah. Menurut Bayu, guru berperan penting dalam berkomunikasi dengan para siswa maupun keluarga mereka, karena dapat mempengaruhi proses belajar-mengajar.

Bayu menceritakan masih ada pandangan bahwa anak perempuan dianggap tidak terlalu perlu mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini mendorong para guru untuk melakukan sosialisasi kepada para orangtua.

“Kami melakukan berbagai upaya, salah satunya melakukan sosialisasi kepada para orang tua murid secara berkala. Kami percaya ketika mendapatkan pendidikan yang berkualitas, mereka akan siap berkompetisi dan berkesempatan untuk membangun karir profesional, serta menggapai masa depan yang cerah,” katanya.

Bayu juga mendorong para pendidik di YPJ untuk terus belajar (learn), menerima paradigma baru (relearn) dan rela mengesampingkan pemahaman yang sudah tidak relevan (unlearn).

“Hal ini selalu dikomunikasikan agar kami tidak terjebak dalam pola pikir lama yang mungkin tidak efektif bagi perkembangan anak,” ujarnya.

Hari Guru Nasional menjadi momentum pengingat bagi para guru untuk selalu memberikan yang terbaik. Bayu berharap, upaya tersebut dapat berkontribusi dalam mewujudkan Generasi Emas 2045, sebuah cita-cita dan gagasan pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan generasi muda yang unggul, kompeten dan memiliki daya saing tinggi.


RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER