Pantja Sila: Cita-cita & Realita
KABARINDO, Salemba, Jakarta- Tidak hanya pewarta senior tapi juga pengarang dan anggota LSF, Noorca M. Massardi.
Ia membagi artikelnya untuk Anda nikmati berikut ini songsong 77 tahun Indonesia.
Sekurang-kurangnya ada tiga film bersejarah yang dianggap mampu merekam dan mengukuhkan kebangkitan sebuah bangsa, dan sekaligus menjadi bagian sangat penting dalam sejarah film dunia.
David Llewelyn Wark "D. W." Griffith, telah menggambarkan proses kelahiran dan perjalanan bangsa dan negara Amerika Serikat melalui filmnya _The Birth of A Nation_ yang dibuat pada 1915.
Film bisu yang diproduksi dengan biaya US $ 110.000, itu ternyata mampu menghasilkan keuntungan puluhan juta dolar, dan kini termasuk salah satu dari 100 film terbesar sepanjang masa.
Menggunakan kamera tercanggih pada masanya dan memakai teknik naratif yang belum pernah dipakai, Griffith memperkenalkan pengambilan gambar secara _close-up_ untuk mengungkapkan ekspresi para pemainnya. Film itu menjadi kontroversial karena dianggap sangat rasialistis terhadap warga Kulit Hitam dan memuji-muji Ku Klux Klan, pada masa perbudakan, Perang Saudara, dan Rekonstruksi.
Tigabelas tahun sesudah Griffith, Sergei Eisenstein membuat film bisu _October: Ten Days That Shook the World_ pada 1928. Eisenstein berhasil mendramatisasi kemenangan Revolusi 17 Oktober di Rusia, yang telah menumbangkan rezim Tsar,
dan dimulainya era sosialisme dan kekuasaan kaum proletar Bolsyewik di bawah kepemimpinan Vladimir Lenin.
Film yang dibuat untuk menandai ulang tahun kesepuluh Revolusi Oktober, itu dibagi dalam beberapa episode waktu yang menandai momen-momen paling penting dalam sejarah Uni Soviet.
Bila Griffith melahirkan _close-up_ sebagai bagian dari teknik narasinya, Eisenstein memperkenalkan apa yang disebut sebagai "montage intelektual" yang menyunting dan menggabungkan pelbagai objek berbeda, menjadi metafora baru untuk menggambarkan kesamaan karakter antara satu dan yang lain, maka tujuh tahun kemudian, sutradara perempuan Leni Riefenstahl membuat revolusi sinematografis dengan film dokumenternya _Triumph of the Will (Triumph des Willens)_.
Film yang dibuat pada 1935, untuk menggambarkan kejayaan Naziisme dan kebesaran Fuhrer Jerman Adolf Hitler, itu merekam jalannya Kongres Nazi di Nuremberg pada 1934, atas permintaan Hitler. Tak aneh bila di situ ditampilkan pidato para petinggi Nazi dan terutama Adolf Hitler, serta glorifikasi terhadapnya. Yang menajkubkan, film itu diselang-selingi dengan _footages_ yang melibatkan sekitar 700 ribu orang dengan latihan berulang-ulang. Baik yang melibatkan massa penonton, maupun anggota dan pendukung partai Nazi, terutama pasukan SS dan militer pendukung Hitler.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah sinema, sutradara Riefenstahl memperkenalkan penggunaan kamera dari udara, kamera bergerak, kamera jarak jauh, dan ilustrasi musik untuk mendukung seluruh kekuatan dan magie dari sinematografi. Film yang dinobatkan sebagai film propaganda terbesar sepanjang sejarah, itu tidak hanya berhasil menggambarkan kejayaan kembali Jerman Raya, tetapi juga merevolusi industri sinema, dan mengilhami banyak sineas dunia baik untuk film cerita mau pun film dokumenter.
Ketiga film bersejarah karya DW Griffith, Sergei Eisenstein dan Leni Riefenstahl, itu tidak hanya mampu merekam dan merekonstruksi sejarah bangsa Amerika, Rusia, dan Jerman, tapi juga telah merevolusi teknik dan narasi industri film dunia, serta menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sinema. Griffth, Eisenstein dan Riefenstahl tak hanya merekam dan merekonstruksi sejarah dan kejayaan bangsanya, tapi juga sebagian besar melakukan recreation/rekreasi alias menciptakan kembali sejumlah peristiwa yang pernah terjadi. Terutama untuk peristiwa yang tidak memiliki arsip baik audio maupun visual. Ketiga sineas itu dengan caranya masing-masing telah berusaha dan berhasil menuturkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di negeri masing-masing pada masa itu dan sebelumnya. Baik secara politis, kultural, maupun militer.
Melalui kecanggihan teknologi, kafasihan bertutur, dan kerja keras seluruh tim produksi, penonton diajak menyelami bagaimana sebuah bangsa terbentuk, apa semangat yang mendasarinya, dan untuk apa mereka berbangsa dan bernegara, serta mengapa karya-karya besar itu dibuat.
Mengingat _The Birth of A Nation_ dibuat untuk kepentingan komersial, dan _October: Ten Days That Shook the World_ serta _Triumph of the Will_ dimaksudkan sebagai film propaganda oleh sponsornya, tak aneh bila mereka mendapatkan dukungan dana dan fasilitas luar biasa pada masanya. Dampaknya pun terasa mendunia dan tercatat dalam sejarah sampai sekarang.
Maka ketika kita mengetahui bahwa film _Pantja-Sila: Cita-cita & Realita_, hanya digagas dan dibuat dengan serba terbatas oleh dua individu yang nekad, keras kepala, dan tidak memikirkan pengembalian modal sama sekali, banyak orang bertanyatanya.
Untuk apa dan mengapa Tyo Pakusadewo dan Tino Saroengallo berusaha merekreasi Pidato Bung Karno tentang Pantja Sila, yang diusulkannya sebagai landasan atau dasar bagi negara Indonesia Merdeka?
Tampaknya, kedua manusia nekad itu semata didorong oleh motivasi dan keinginan kuat untuk mengingatkan kembali bangsa Indonesia, ihwal apa dan bagaimana gagasan Bung Karno yang otentik tentang Pantja-Sila, saat ia digagas, dilahirkan, dan disampaikan dalam sebuah orasi tanpa teks, sebelum disepakati sebagai dasar negara, di hadapan sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 1 Juni 1945.
Film yang terutama menampilkan sosok Bung Karno/Tyo Pakusadewo dari awal hingga akhir, itu tidak dimaksudkan untuk menampilkan keaktoran luar biasa dari seorang pemeran. Baik dalam menghafal teks, melafalkan ungkapan pelagai bahasa asing, menafsirkan makna dialog, atau membuat gesture dan mimik minimalis. Ia juga tidak semata menampilkan gambar dengan kamera statis dan mengekspresikan narasi melalui aneka close-up sebagaimana Griffith, tapi juga membuat editing dan _footages_ serta metafora seolah Eisenstein. Termasuk pemilihan warna dan kostum yang tak hanya ingin mendekati fakta yang otentik, melainkan juga memberikan tafsiran ulang terhadap warna merah dan putih, serta bingkai kaca dan jendela untuk membatasi
fokus. Fokus terhadap Pantja Sila. Fokus terhadap kata.
Ya. Benar sekali. Fokus film ini memang bukan pada dekor, kostum, aspek sinematografi, _tone_ warna, bahkan tidak juga pada aktor. Fokus film ini hanyalah pada kata-kata, diksi, intonasi, dan intisari apa yang diucapkan, dan apa yang digelorakan dalam setiap frasa dan parafrasa Bung Karno dalam eksposenya. Teks yang dibunyikan oleh mulut sang aktorlah, yang menjadi bintang dan tokoh utama dalam film ini. Bukan yang lain.
Sehingga, usai menonton film ini kita hanya bisa mengagumi betapa dahsyatnya gagasan dan cara penyampaian Bung Karno ketika ia memaparkan _idee_ nya tentang lima dasar negara. Bahkan tiga dasar. Termasuk satu dasar: gotongroyong.
Pada 1 Juni 1945, itu Bung Karno telah mampu meyakinkan semua pihak bahwa kemerdekaan adalah yang utama, di sini dan sekarang, _hic et nunc_, sementara urusan lain-lain bisa dibangun belakangan. Namun, untuk merdeka dan membentuk sebuah negara, kita harus terlebih dulu memiliki _Weltanschauung_, pandangan hidup, filosofi bangsa, ideologi negara, yang menjadi landasan bagi apa saja yang kelak akan kita bangun, kita atur, dan kita laksanakan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, setelah kita melewati jembatan emas yang disebut kemerdekaan. Sesuatu yang akhirnya, pada 1 Juni 2016, diakui Negara sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Tino dan Tyo sebagai produser, sutradara, dan aktor, telah menunjukkan kesungguhannya dalam me-rekreasi pidato yang sebelumnya tak pernah direkam baik secara audio maupun visual itu. Beruntunglah mereka menemukan salinan stenografi yang cukup otentik, yang mencatat setiap kata dari Bung Karno di sidang BPUPK. Termasuk parafrase-nya yang sangat kuat dan merupakan salah satu ciri pidato Bapak Pantja Sila itu di mana pun dan kapan pun.
Maka lupakanlah siapa Tyo siapa Tino dkk. Dua sosok utama yang telah memproduksi film ini tanpa pretensi politik, agama, dan golongan apa pun. Abaikanlah sehebat apa pun keberhasilan mereka dalam merekreasi pidato yang sangat monumental dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebab, inilah sebuah film yang patut ditayangkan di seluruh jaringan bioskop, televisi, dan radio serta di pelbagai media sosial lainnya, pada setiap tanggal 1 Juni atau 17 Agustus.
Sehingga bangsa ini bisa tetap bersatu, merenungkan kembali jatidirinya, melihat ulang landasannya, memperkokoh ideologinya, dan mengembangkan visinya yang jauh ke depan, untuk mewujudkan apa yang sesungguhnya harus dimiliki oleh sebuah
bangsa yang merdeka dan berdaulat. Bangsa yang tidak hanya telah dan harus selalu mengakui dan menghormati perbedaan, tetapi juga bangsa yang harus dan senantiasa meyakini bahwa keberagaman itu hanya punya satu kesamaan tujuan: menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali. Tak lain dan tak bukan.
bintaro, 14 agustus 2016