Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Gaya hidup > Apakah Cacar Monyet akan Menjadi Pandemi Global Selanjutnya?

Apakah Cacar Monyet akan Menjadi Pandemi Global Selanjutnya?

Gaya hidup | Selasa, 17 September 2024 | 20:40 WIB
Editor : Natalia Trijaji

BAGIKAN :
Apakah Cacar Monyet akan Menjadi Pandemi Global Selanjutnya?

Apakah Cacar Monyet akan Menjadi Pandemi Global Selanjutnya?

Surabaya, Kabarindo- Cacar monyet yang sekarang disebut mpox, merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus cacar monyet (MPXV) yang termasuk dalam genus orthopoxvirus. Genus ini juga termasuk virus variola, yang menjadi biang penyakit cacar.

Infeksi kasus mpox pada manusia pertama kali dilaporkan pada 1970 di Republik Demokratik Kongo (DRC). Sejak itu, mpox telah diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu varian virus Afrika Tengah yang lebih ganas dan varian virus Afrika Barat yang umumnya tidak terlalu parah.

Secara historis, kasus mpox jarang terjadi di luar Afrika. Namun secara global, kasus ini mulai melonjak secara signifikan pada Mei 2022. Bahkan telah Swedia turut mengonfirmasi kasus pertamanya.

Menanggapi naiknya kasus mpox, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah ini sebagai situasi darurat global, menyoroti penyebaran virus yang cepat dan potensi dampak kesehatan yang parah.

Dinamika penularan virus

Virus cacar monyet menular dalam berbagai cara, termasuk dari manusia ke manusia sebagai penularan yang paling signifikan. Penularan ini biasanya melibatkan kontak langsung dengan lesi atau cairan tubuh dari individu yang terinfeeksi, terutama saat berhubungan intim.

Penularan virus cacar monyet juga bisa melalui percikan droplet saat melakukan tatap muka yang berkepanjangan dengan orang yang terinfeksi. Selain itu, permukaan benda-benda yang terkontaminasi juga dapat menjadi perantara penyebaran virus cacar monyet.

Adapun penularan dari hewan ke manusia merupakan transmisi virus yang paling rawan. Penularan ini sering kali terjadi tanpa sadar lewat kontak langsung dengan hewan-hewan yang terinfeksi, seperti hewan pengerat atau primata, terutama di wilayah dengan masyarakat yang kerap mengkonsumsi daging hewan liar. Bahkan muncul pula laporan bahwa penularan virus mprox juga terjadi dari ibu ke janin yang dikandungnya.

Epidemiologi atau pemahaman terhadap virus mpox telah mengalami pergeseran sejak wabah merebak pada Mei 2022. Kasus mpox tercatat meningkat secara signifikan pada laki-laki yang berhubungan intim dengan sesama jenis, sehingga memicu dinamika penularan.

Beberapa gejala yang mengindikasikan mpox adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening dan ruam kulit dengan wujud yang khas. Meskipun mpox tidak begitu berbahaya dibandingkan cacar, penyakit ini tetap memicu risiko kesehatan yang signifikan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.

Wabah terkini dan respons global

Munculnya kasus mpox di wilayah non-endemis menimbulkan kekhawatiran terhadap kesiapan sektor kesehatan masyarakat setempat. Sejumlah negara, termasuk Australia, telah meningkatkan pengawasan dan memperluas edukasi kesehatan masyarakat untuk memantau dan mencegah potensi wabah virus mpox. Apalagi mengingat rendahnya kekebalan terhadap virus orthopoxvirus di Australia, kewaspadaan yang tinggi sangat diperlukan untuk mencegah masuknya cacar monyet, terutama melalui perjalanan internasional.

Penetapan mpox sebagai Situasi Darurat Global oleh WHO menegaskan betapa pentingnya memitigasi potensi penyebaran cepat penyakit ini, terutama pada kelompok masyarakat dengan kekebalan tubuh yang rendah akibat berhentinya program vaksinasi cacar.

Laporan terkini mengindikasikan bahwa wabah mpox di seluruh dunia terus meluas, dengan munculnya kasus-kasus baru di berbagai negara, termasuk di kawasan Eropa dan Amerika. Kemunculan jenis mpox Clade I yang lebih ganas baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensinya menjadi pandemi global, terutama di wilayah Indo-Pasifik.

Jenis virus ini kemudian dikaitkan dengan tingkat kematian dan penularan yang lebih tinggi dan mulai mewabah di beberapa negara termasuk Swedia. Karenanya, WHO menyatakan kondisi tersebut sebagai Situasi Darurat Global yang perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat luas.

Pada 2024, lebih dari 15.600 kasus dan sekitar 500 kematian akibat mpox telah dilaporkan, sebagian besar dari Republik Demokratik Kongo, yang menandakan betapa seriusnya penyakit ini. Kawasan Indo-Pasifik, yang saling terhubung dan memiliki kapasitas pelayanan medis yang berbeda-beda, dapat menghadapi risiko besar jika penyebaran virus tidak terkendali.

Kemunculan virus mpox jenis Clade I di luar Afrika seperti yang terjadi di Swedia, mengindikasikan virus ini dapat melintasi perbatasan dengan mudah, sehingga menjadi ancaman bagi negara-negara dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang memadai.

Apa pilihan pengobatan yang tersedia saat ini?

Strategi vaksinasi mpox secara signifikan berbeda untuk kedua jenisnya, Clade I dan Clade II, karena ada variasi tingkat keganasan, dinamika penularan dan kondisi wabah.

Jenis mpox Clade I yang menjadi endemik di Afrika tengah, memiliki tingkat kematian lebih tinggi secara historis hingga 10%, dan cenderung ditularkan secara zoonosis (dari hewan ke manusia) dibandingkan dari manusia ke manusia. Sebaliknya, pada Clade II, khususnya subtipe Clade IIa dan IIb, tingkat kematiannya dilaporkan lebih rendah, sekitar 3,6%. Meski begitu, jenis virus ini mampu memicu wabah global sejak 2022, yang sebagian besar menyebar melalui kontak antar manusia, terutama saat berhubungan intim.

Program vaksinasi untuk jenis Clade I memprioritaskan kelompok berisiko di daerah endemik, dengan strategi pemberian vaksin secepat mungkin setelah terpapar. Langkah ini diambil, karena tingkat keparahan yang dapat disebabkan oleh jenis virus tersebut. Vaksin seperti JYNNEOS dan ACAM2000 diharapkan dapat memberikan perlindungan silang terhadap Clade I, meskipun efektivitas spesifiknya masih terbatas.

Edukasi kesehatan masyarakat tentang penularan zoonosis juga penting untuk mencegah terjadinya wabah. Untuk Clade II, strategi vaksinasi dilaporkan sudah lebih agresif, terutama untuk Clade IIb, di mana vaksin seperti JYNNEOS disebarkan di daerah non-endemis dengan target laki-laki yang berhubungan intim sesama jenis, serta kelompok berisiko tinggi lainnya.

Selain itu, dilakukan upaya preventif sebelum dan sesudah kontak langsung dengan penderita mpox, yang didukung oleh upaya global untuk membangun persediaan vaksin dan memastikan distribusi yang merata, terutama di Afrika, yang mengalami kekurangan pasokan vaksin.

Meskipun JYNNEOS dan ACAM2000 menunjukkan efektivitas terhadap Clade II, di mana JYNNEOS terbukti mampu memberikan perlindungan 100% pada penelitian hewan primata, namun data mengenai efektivitasnya terhadap Clade I masih terbatas. Pengobatan antivirus seperti Teco Virimat juga terbukti tidak efektif, sehingga menyoroti urgensi riset lebih lanjut mengenai perawatan yang efektif untuk penanganan mpox.

Bagaimana prediksi selanjutnya?

Wabah mpox global saat ini telah menyoroti pembelajaran penting dari pandemi COVID-19, terutama di bidang komunikasi dan kesiap-siagaan. Penanggulangan yang efektif membutuhkan komunikasi yang jelas dan penuh empati untuk membangun kepercayaan dan mengurangi stigma seputar penyakit ini, terutama di kalangan masyarakat yang rentan terkena wabah.

Langkah-langkah penanganan cepat, termasuk identifikasi kasus, penelusuran kontak dan isolasi, terbukti sangat penting dalam mengelola penyebaran, yang mengacu pada keberhasilan strategi penanganan COVID-19. Pandemi telah menunjukkan betapa krusialnya peran teknologi dalam menyebarkan informasi dan menjamin akses yang merata terhadap sumber daya.

Tanggapan pemerintah yang terkoordinasi merupakan hal yang penting, dengan menekankan kolaborasi di semua tingkat lembaga kesehatan masyarakat untuk mengatasi ketimpangan yang muncul. Selain itu, wabah mpox telah menunjukkan pentingnya ketersediaan vaksin dan melakukan pendistribusian yang merata. Program vaksinasi juga harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan mengatasi berbagai keraguan.

Artikel ini ditulis oleh Vinod Balasubramaniam, Senior Lecturer, Microbiology, Jeffrey Cheah School of Medicine and Health Sciences, Monash University Malaysia, dan telah dipublikasikan di Monash Lens.

Foto: istimewa


RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER