KABARINDO, JAKARTA - Sejak berdiri pada tahun 1985, Indonesian Fashion Designer Council (IFDC) telah menjadi pilar penting dalam industri mode tanah air.
Dengan visi menumbuh kembangkan industri mode Indonesia di berbagai lini, IFDC menaungi para desainer kondang dari berbagai generasi, seperti Sebastian Gunawan, Didi Budiardjo, Mel Ahyar, Ivan Gunawan, Rama Dauhan, dan Wilsen Willim.
Dalam konsistensinya mengusung tema Kain Negeri setiap tahun, IFDC kembali menampilkan inovasi wastra dalam wujud busana kontemporer di panggung mode JF3 2024.
Tahun ini, keindahan wastra Indonesia dihidupkan kembali melalui rancangan dari lima desainer muda, yaitu Adeline Esther, Rama Dauhan, Ria Miranda, Wilsen Willim, dan Yosafat Dwi Kurniawan.
Mereka membawakan parade show bertajuk “Kain Negeri” Jumat (26/2024) di JF3 Fashion Festival, La Piazza Fashion Tent Summarecon Mall Kelapa Gading.
Desainer Adeline Esther – Membawakan “Batik Pekalongan”. Adeline menarasikan cerita rakyat Keong Mas asal Kediri, Jawa Timur, dalam koleksi siap-pakai deluxe miliknya.
Ia mengawinkan keindahan magis Batik Pekalongan dengan siluet modern dan drape, sebuah reinterpretasi gaya putri Jawa kuno dalam konteks masa kini.
Sebagai pelengkap cerita, Adeline berkolaborasi desainer aksesori legendaris, Rinaldy A. Yunardi, untuk menciptakan clutch bag berbentuk Keong Mas dan anting-anting unik.
Desainer Rama Dauhan membawakan “Batik Solo”. Karya busana Rama Dauhan adalah reinterpretasi batik dalam konsep androgyny, terinspirasi dari hasrat para selir Keraton Surakarta terhadap pemberontakan peran gender dalam tatanan kerajaan.
"Pada koleksi ini saya berkolaborasi dengan Rumah Batik Cempaka, produsen batik Surakarta yang masih mempertahankan metode membatik tradisional," paparnya.
Sementara itu desainer Ria Miranda membawakan “Tenun Garut”. Koleksi Ria Miranda mempresentasikan kisah cinta Naito, mantan tentara Jepang, kepada tenun Garut.
Kisah cinta yang abadi, meski Naito gugur dalam peperangan, namun rasa kasih sayangnya tertuang dalam warisan tenun dan sutra Garut yang dibudidayakannya kepada masyarakat sekitar.
Siluet modern yang chic, dihiasi renda dan drapery, merefleksikan filosofi kasih sayang Naito, yang diwujudkan dalam keindahan tenun Garut.
Lalu desainee Wilsen Willim hadir membawakan “Tenun Sutera Liar” dalam koleksinya. Wilsen Willim berkolaborasi dengan kolektor dan pemerhati wastra, Chandra Satria, untuk mengangkat karya Maestro Tenun Sutera, Simon 'Lenan' Setijoko.
Terinspirasi dari keahlian Lenan dalam mengolah kain tenun sutera liar dengan aksen sulam, batik, dan lukisan, Wilsen merancang delapan tampilan karya seni yang dapat dikenakan (wearable art).
"Meski dikenal dengan busana kontemporer siap pakai, kali ini saya ingin mengangkat wastra sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi di mata dunia," jelasnya.
Desainer Yosafat Dwi Kurniawan membawakan “Kain Pekalongan/Songket”.
Yosafat mempersembahkan keanggunan kain tradisional asal kampung halamannya dengan sentuhan budaya global.
Teknik batik cap asal Pekalongan dan kemilau benang perak songket berharmoni melukiskan motif tribal dan bunga sakura. Ia menamakan inovasi motif ini sebagai Sakura Gerjak. Foto: Orie Buchori/Kabarindo.com